Seperti yang sudah dia janjikan Pamungkas meninggalkan sarapan untuk Daisy di pintu apartemennya dan dia pergi keluar dari apartemen, namun bukannya keluar di lobby seperti biasanya, dia turun ke basement.
“Jul gue gak ke cafe dulu ya, kalau urusan gue kelar sebelum jam 12 gue balik.”
“Oke.”
Dia menyalakan mobil SUV hitam milknya. Mobil yang sudah lama tidak pernah dia pakai.
Pamungkas berjalan menuju jantung Jakarta, jalanan yang lumayan pada menghiasi hari itu. Sampailah dia di sebuah gedung tinggi mungkin lebih dari 50 lantai, tapi dia juga tidak tahu.
Karena sebelum ini dia juga tidak pernah peduli.
Pamungkas menghentikan mobilnya di pintu masuk dan ternyata sudah ada orang yang menunggunya dia kenal betul. Dia sudah jauh terlihat lebih tua dari terakhir mereka bertemu 8 tahun lalu.
Walau orang ini adalah sekretaris kakeknya, Juna lebih menjadi seorang ayah untuknya. Tapi fakta itu hanya dia simpan dalam hatinya.
“Pami,” ucapnya.
“Juna.”
***
Flashback
Sejak dulu memasak adalah hal yang aku sukai mau bagaimana pun kondisinya atau mau bagaimana pun sederhananya makanan itu.
Dan ketika waktu itu aku memutuskan untuk sekolah memasak keluarga tidak menolak, dan itu yang sebenarnya membuat aku khawatir, mereka tidak melarang dan tidak menolak.
Mereka bahkan mencarikan sekolah kuliner yang bagus, tapi nyatanya semua itu semu. Mereka melakukan itu karena berpikir baik untuk membiarkan aku bermain.
“Ini udah jadi.”
Daisy sudah dengan sabar menunggu dan selalu menikmati makanannya, aku memang selalu membuat makanan untuk keluargaku tapi tidak ada satupun dari mereka yang merindukan hal itu.
Sedangkan Daisy, dia selalu merindukan itu.
“Pelan-pelan,” ucapku melihatnya yang terburu-buru saat makan.
“It’s so good.”
“Pelan-pelan gak akan ada yang ngambil makanan itu dari kamu.”
Aku mengusap kepalanya yang tengah mengunyah, dia tersenyum yang membuat pipinya membesar dan matanya menyipit.
Imut.
“Kamu ngajakin ketemu di cafe kenapa ada sesuatu?”
“Oh, itu aku mau ngajakin kamu kalau kamu gak sibuk.”
“Ngajak apa?”
“Ngajakin kamu main, pergi gitu kemana.”
Aku tahu maksudnya, dia pasti mau merasakan dulu sebelum membuat ceritanya. “Mau riset maksudnya?”
“Itu tahu, ayo ya, mau ya, tolongin aku, aku pergi tur lagi minggu depan jadi kita cuma waktu 4 hari, kayaknya sih cukup.”
“Cukup, kalau sama aku pasti cukup.”
“Hmm, pengalaman banyak nih kayaknya.”
“Gak juga kok.”
Drrt~! Getaran ponsel yang berada di meja makan mengalihkan perhatian kita berdua, dan aku terkejut begitu melihat nama siapa yang ada di sana.
‘Juna’
Aku mencoba menghiraukannya dengan membalik ponsel itu, hingga getarannya berhenti. Namun ternyata getaran itu muncul lagi.
Dia tahu betul sifat Juna, jika aku tidak mengangkat sampai ketiga kalinya, dialah yang akan menghampiri walau itu butuh waktu 3 jam perjalanan dan percakapan itu mungkin hanya memakan waktu 3 menit. Dia lebih keras kepala di banding Jane.
Pilihanku hanya aku mengangkat panggilan itu atau membiarkan dia membuat pemandangan seolah-olah aku adalah seorang pangeran. Aku bisa membayangkan apa yang terjadi, karena hal itu pernah terjadi sebelumnya.
Dan aku benci hal itu. Aku tidak membencinya tapi aku benci perlakuannya yang memanjakanku.
“Aku ke balkon sebentar ya,” ucapku padanya, supaya dia tidak perlu merasa khawatir.
Aku menghubungi kembali nomor itu, tak butuh waktu lama panggilan itu pun di terima. “Tutup pintu mobil gak usah nyamperin saya.”
“Akhirnya kamu angkat juga, Pami kita harus bicara. Kamu tahu kan, kakak kamu udah hubungin kamu.”
“Saya tahu, apa ada yang harus di omongin.”
“Pami… ”