One month later.
Ketika aku mencoba untuk membenci ataupun melupakannya, itu merupakan hal yang paling sulit yang bisa aku lakukan. Hari ini hari terakhir turku di gelar. Penerbit menyarankan untuk melakukan encore di Jakarta.
Aku tidak masalah, jika mereka mau memperpanjangnya juga aku tidak peduli, aku hanya punya satu syarat, aku mau novel ini cepat di terbitkan.
Patah hati, membenci dan kecewa sepertinya sudah melekat di kehidupanku sehari-hari.
Ketika aku berusaha untuk tetap terjaga di malam hari nyatanya aku tidak bisa, mataku tetap menyuruhku untuk tertidur. Ternyata kebiasaan yang aku lakukan dengannya walau itu hanya sebulan sangat berpengaruh.
Tidur ketika malam tiba. Minum air putih ketika bangun tidur. Makan sarapan walau itu hanya roti dan telur. Berpakaian rapih walau aku hanya pergi ke ruang kerjaku.
Aku tidak bohong ketika terkadang aku merindukannya, sangat merindukannya. Aku terkadang duduk di sofa sambil melihat langit malam, mempertanyakan bagaimana keadaannya dan tanpa sadar aku menangis.
Dan ketika aku terlalu merindukannya aku akan pergi ke kamar keramat itu. Tidur di kasurnya hanya untuk merasakan kehangatan yang telah lama hilang itu.
Aku tidak bisa melihat lagi senyumnya.
Aku tidak bisa merasakan pelukan hangat darinya.
Aku tidak bisa lagi merasakan aman ketika dia memegang tanganku.
Aku ingin tahu apa dia masih bisa tersenyum seperti biasanya.
Harus sampai kapan lagi aku harus bertahan dan membiarkan dia pergi seperti itu.
Aku merindukannya, bahkan ketika aku melihat fotonya di ponselku itu tidak bisa mengobati kerinduanku.
Bahkan ketika aku bangun pagi ini tanpa sadar, mataku sudah berlinang air mata.
“Welcome to Coffee Buy,” ucap seseorang di kasir.
Orang ini aku tidak kenal, aku kenal dengan Julian dan Rein tapi aku tidak mengenalnya.
“Ice cinamon latte, non-fat milk,” ucapku.
Namun dia terpaku dan melihatku seperti terkejut, dia siapa, aku tidak mengenalnya tapi dia seakan mengenalku.
“Daisy?”
Benar ternyata dia mengenalku. Aku hanya mengangguk, lalu dia mengembalikan kartu yang aku berikan.
“Gue Jerry, ownernya Coffee Buy,” ucapnya lagi.
Ah, orang ini yang di bilang Aji kalau cafe itu memang milik temannya. “Ah, seinget gue apartemen yang di tinggalin Aji itu punya lo juga kan?”
“Aji? Ah Pam, iya kenapa?”
“Besok gue balikin kuncinya.”
“Oh gak usah, itu tempat emang buat lo, gue cuma nyuruh orang untuk bersihin tempat itu awalnya gue nyuruh dua minggu sekali, tapi kata yang bersihin, itu kamar kaya gak pernah di tempatin. Lo gak pindah kesana?”
“Apa gue harus pindah kesana meskipun dia gak ada?”
“Apa lo harus kesana kalau lo lagi kangen sama dia?”
Aku tidak suka dengan cara bicaranya. “Gak usah main kata-kata sama gue.”
“Sorry gue gak bermaksud,” ucapnya sambil memberikanku tumblr itu.
Namun dia menahannya hingga aku tidak bisa mengambilnya. “Lepasin.”
“Sebagai temennya Pamungkas sejak lama gue cuma bilang, thank you udah sakit hati karena Pam ninggalin lo, itu artinya lo gak kaya mantan-mantannya yang brengsek. Thank you udah bawa kebahagiaan di hidup dia yang hambar.”
“Maaf tapi gue bukan penyedap rasa ataupun pelengkap untuk kehidupan dia. Dia banyak merubah gue iya dan gue berterima kasih buat hal itu. Tapi kalau memang gue begitu penting buat hidup dia harusnya dia tetep di samping gue apapun yang terjadi.”
Dia akhirnya melepaskan tumblr itu dan aku berjalan kembali karena kupikir dia tidak akan bisa lagi membalas kata-kataku.
“Bener, lo gak salah. Anggaplah ini sebuah masakan, itu gak akan enak kalau gak ada garam dan penyedap rasa makanan itu gak akan komplit. Begitu pula dengan kehidupan Pam. Kalau lo ada di posisi dia, kalau lo harus memilih bersama lo tapi kedepannya akan begitu menyakitkan buat lo atau lebih baik ngebuat lo ngebenci dia dan lo bisa tetep ngelakuin yang lo mau.”
Aku berbalik, sekarang semuanya mulai jelas, itu artinya…
“Mereka ngancem Aji dengan karir nulis gue?”
“Wah, such a good writer don’t you? Just with a few hints you already know what that means?”