Aku duduk di depan nisan yang berdampingan, karena tanahnya rata jadi aku bisa duduk dengan nyaman di depan nisan kedua orang tuaku. Hari ini tanggal 25 November, hari dimana kedua orang tua mengalami kecelakaan tunggal dan mereka meninggal dalam perjalanan kerumah sakit.
Aku masih ingat betul apa yang terjadi, dari tiba-tiba kakek yang mendadak pergi keluar dengan supirnya, Juna yang tiba-tiba menghampiri Jane dan Luna, setelah mereka bicara keduanya langsung pergi ke kamar dan tidak keluar.
Lalu Juna menghampiriku dan menggendongku mengajakku ke kebun dimana Mama biasa menanam bunga, dia mencoba menjelaskan kepadaku apa yang terjadi, tapi sepertinya, aku tetap tidak mengerti saat itu.
Sampai ketika kami pergi ke pemakaman, dan aku melihat kedua orang tuaku yang sudah berada di peti dan di kubur. Saat itulah aku baru menangis, aku baru mengerti bahwa mereka berdua, tidak akan kembali lagi seperti dulu.
Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, apa jika waktu itu aku tidak menangis saat menelfon mereka dan meminta mereka untuk pulang mungkin mereka masih ada sampai sekarang. Dan mereka mungkin akan mendukung apa yang ingin aku lakukan.
20 tahun sudah, dan kini setelah sekian lama aku bisa di sini lengkap dengan Jane dan Luna.
“Mah, pah apa kabar?”
“Maaf Pami jarang kesini. Mungkin kalau kakak gak nyamperin aku, aku mungkin gak kesini. Pah aku udah berusaha untuk usaha papa sama kakek tetep ada di tangan keluarga. Aku sekarang ngerti kenapa papa sama mama jarang banget di rumah.”
“Mah, Pami udah punya pacar loh,” ucap Luna dari belakangku.
“Kak… ”
“Ceritain ke mama gih.”
Aku tersenyum. “Pami gak tahu apa bisa di bilang pacar, Pami udah udah nyakitin dia dan Pami ngerasa, aku gak bisa di maafin lagi. Pami gak percaya diri buat nanya ke dia. Karna mau gimana pun Pami udah banyak salah.”
Aku merasakan Luna mengusap kepalaku dengan lembut, ya walaupun Luna menamparku begitu keras, tapi aku juga punya andil kesalahan saat itu.
“Pami udah dewasa sekarang mah, bukan lagi anak yang nangis setiap kali ke sini,” lanjut Luna.
Kini giliran Jane yang duduk di sampingku dia merangkul bahuku dan mengusap kepalaku, ya mau bagaimana pun mereka, selicik apapun cara mereka untuk mengambilku kembali.
Bagi mereka aku adalah adik kecil yang harus di jaga. Sampai kapanku bagi mereka aku adalah anak kecil, dan aku paham akan hal itu.
“Mama sama papa doain Pami, Jane sama Luna ya. Pami udah hampir gak kuat, apalagi Juna yang selalu aja ngasih kerjaan. Pami juga gak mau ke dapur lagi, tapi demi hari ini, Pami mau masak buat kakak sama Juna yang dari dulu selalu jagain dan biarin Pami main.”
Aku terdiam sebentar menahan air mata yang mau keluar, namun sayup-sayup terdengar Jane juga menangis, Luna pun menundukan kepalanya menahan tangis.
“Kakek kondisinya juga udah gak baik pah, mah, Pami gak tahu sampai kapan kakek bisa bertahan, tapi Pami akan usahain yang terbaik ya supaya bisa jadi pengganti yang membanggakan. Kalau Kakek bisa sehat aku cuma berharap dia bisa ngerti kenapa aku suka masak. Itu semua karna aku kangen masakan mama, aku pengen semua orang inget dan ngerasain lagi masakan mama.”
“Mah, pah, Jane, Pami sama Luna pamit dulu ya, nanti kita main lagi kapan-kapan,” ucap Jane.
***
Pamungkas masih berkutat di dalam dapur, sedangkan kakak-kakaknya berada di ruang makan, dia tidak suka ketika ada orang tidak profesional mencoba membantunya ini justru akan merepotkannya dan masakan tidak akan selesai.
“Pam, kamu beneran gak butuh bantuan?” tanya Luna.
“Gak usah, udah sana bentar lagi beres.”
“Seriusan?”
“Iya ntar aja kakak sama Jane tuh cuci piring.”
“Oh, oke.”
Luna kembali ke ruang makan, Jane sedang berada dalam panggilan, namun ketika Jane melihat Luna dia memanggil adiknya itu untuk mendekat.
“Oke, kalau dia maunya gitu gak papa, tapi bisa gue pribadi invest ke buku terbarunya?” ucap Jane di telfon.