Sepuluh tahun Kemudian.
Apa yang membedakan antara kegilaan sesaat dengan benar-benar gila. Dan apa yang membedakan antara kesadaran dengan tanpa kesadaran. Keduanya memiliki garis perbedaan yang sulit untuk dibedakan, tetapi terlihat hidup.
Tidak ada yang pernah menyangka jikalau takdir kehidupan seseorang layaknya roller coaster atau wahana permainan yang membuat seseorang mengalami naik turun yang sangat ekstrem. Bisa dikatakan, seseorang itu pernah sangat menikmati kehidupannya, berada di atas. Bisa melihat keindahan dan merasakan kenyamanan dari tempatnya berdiri. Namun, semuanya itu berubah, berbalik dari hal-hal yang sebelumnya.
Semua cinta, keindahan dan kasih sayang direnggut paksa oleh keadaan. Jatuh ke dalam dasar yang dalam dan kesulitan untuk menaikinya lagi. Sekuat apapun kehendak dan keinginan untuk meraih puncak, tidak akan mampu untuk menancapi jejak setengah dari perjalanan itu.
Apakah masih ada yang tertinggal? Hanya tinggal penyesalan dan derita yang tak kunjung berakhir. Setiap airmata telah hilang, setiap kesedihan menjejak di perasaan, sesuatu hal yang penting kini samar-samar memahami maknanya. Tak ada lagi keinginan untuk hidup, karena semuanya tertinggal dan ditinggalkan. Oleh-oleh dan yang pernah diperoleh hanya tersisa debu dalam genggaman. Telah menyatu dalam kekosongan.
***
Agustus 2018.
Karlina memarkirkan mobilnya dan segera melesat keluar, melihat beberapa mobil ambulans terparkir dengan sirene yang tetap menyala. Ia menuju pintu utama rumahnya, berlari sekencang mungkin dengan perasaan ketakutan dan panik bersamaan. Ia segera pulang seketika Suaminya mengabarkan sesuatu yang darurat telah terjadi di rumahnya.
Melihat pintu depan rumah yang sudah terbuka sangat lebar, beberapa petugas paramedik sedang berusaha menolong tubuh mungil Rian dan Shanum yang membiru. Suaminya Robbie menangis histeris dalam pelukan wanita bernama Karen, sekretaris pribadinya. Karlina mencoba mendekati kedua anaknya, tetapi dicegah oleh beberapa pelayan.
Ia memberontak, meronta-ronta seperti orang gila, teriakannya memekik sampai ke ujung jalan hingga seluruh tetangga mendengar pekikan yang menggelegar bagaikan petir di siang bolong. Karlina bersimpuh dengan lemah, seluruh tubuhnya bergetar, merasakan getir ketakutan dan kepedihan seorang Ibu.
Tidaaak!
Oh Tuhan! Tidaak!
Jangan, Tuhan!
Tidaaak!!
***
Dua puluh tahun sebelumnya.
Di malam yang lebih pekat daripada biasanya, ia Pemuda yang baru berusia sembilan belas tahun, menguasai malam terdingin di musim penghujan. Mencari-cari kelab malam termewah dibilangan pusat kota yang dihadiri oleh kalangan kelas atas. Pada saat itu situasi sedang terjadi krisis di negara-negara Asia, termasuk di dalam negeri. Bahkan yang cukup parah terkena imbasnya. Kendatipun demikian, Pemuda itu tetap menguasai jalanan yang sepi mencari kesenangan seolah-olah tak berpengaruh karena dia anak seorang konglomerat.
Orang tuanya sangat dekat dengan kaki-kaki Penguasa negeri meskipun harus mencucinya dan menciumnya sekalipun. Perhotelan yang dibangun oleh keluarganya ikut terkena imbas, tetapi masih bisa bertahan di saat yang lainnya sudah gulung tikar. Kaki Pemuda itu melangkah tak tentu arah akibat pengaruh minuman alkohol yang melebihi batas kesadaran. Dalam pikiran Pemuda itu hanya kesenangan dan kesenangan untuk menghabiskan hari.
Tanpa harus bersusah payah pergi ke sekolah dan bekerja, Orangtuanya penerus kekayaan Kakeknya yang menguasai seluruh properti dan perhotelan di Ibukota. Pemuda itu mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman yang baru saja dikenalnya di kelab itu.
“Aku harus pulang karena batas waktuku sudah habis,” tutur Pemuda itu dalam kondisi mabuk.
“Hei, mau ke mana? Apa Mamamu mencarimu, haha?” ejek seorang “teman baru” tak dikenal yang mengundang gelak tawa semua orang untuk ikut mencemoohnya. Pemuda itu menyengir kecut, kepalanya menggeleng enteng sekaligus mengangguk bersamaan yang menandakan kalau ucapannya orang itu ada benarnya.
“Terima kasih sudah menemaniku minum. Sebenarnya, saat ini aku tidak ingin pulang ke rumah, gedung milik Kakekku ada yang dibakar massa. Aku tidak tahan lagi dengan makian Ibu. Bakar … bakar saja semuanya, biar Ibu kesal hahaha.” Pemuda itu benar-benar mabuk berat.
“Heh, kalau orang tuamu jatuh miskin, kamu akan tidur di jalanan. Dasar anak manja!” sahut Pengunjung lainnya.