Tengah malam Karlina terbangun dari tidurnya mengetahui jika suaminya pulang dari kebiasaan buruknya yang selalu mabuk, dernyitan rem mendadak kendaraan yang terparkir dengan asal. Suara rem yang berhenti pakem dan ditinggalkan begitu saja di depan anak tangga sebelum selasar rumah megahnya. Robbie mulai berjalan tak seimbang, terhuyung-huyung memasuki rumah dengan botol minuman keras yang telah kosong. Botol itu dilemparnya ke dinding hingga pecah berserakan.
Suara nyaring dari pecahan kaca itu memekakan ruang tengah yang gelap dan lengang tanpa penghuni.
“Karlina!” pekik Robbie dengan kasar memanggilnya seperti orang yang sedang murka.
Karlina mengetahui panggilan itu dan berusaha mencari tempat persembunyiannya. Langkah kecilnya berlari di antara lorong-lorong gelap tanpa cahaya, hanya sebuah lampu di ujung yang mengarah ke ruang perpustakaan. Karlina mencoba beberapa tuas pintu kamar di kanan dan kirinya. Semua kamar itu terkunci bukan tanpa sebab, Robbie sudah mengetahui tempat persembunyiaannya.
Karlina!
Teriakan Robbie semakin kerasnya, hingga tidak ada makhluk malam satu pun yang berani terbangun, tetapi hanya kembali tidur pura-pura tidak tahu. Kebiasaan Robbie itu sudah menjadi hal yang umum. Pulang dengan kondisi mabuk dan akan melampiaskan seluruh napsu dan angkaranya kepada istrinya.
Karlina berlari, sesekali menoleh ke belakang. Perasaannya begitu takut jika Robbie akan menangkapnya lagi malam ini. Pintu kamar paling ujung sebelah kanan di dekat lorong perpustakaan terbuka, Karlina masuk ke dalam dan menguncinya rapat-rapat. Memutar kuncian dua kali ke kanan. Untuk memastikan jikalau Robbie tidak bisa menerobosnya, ia juga mengganjal tuas itu dengan sandaran kursi yang diangkatnya dari sebelah meja.
Karlina melangkah mundur dengan perasaan sangat takut, meraba-raba disekitarnya tanpa pencahayaan. Seluruh tubuhnya bergetar merasakan kengerian malam itu. Keringat dingin yang mengucur sejak tadi tidak sempat diusapnya. Ia merasa hal itu percuma karena hanya akan keluar lagi dari pori-pori kulitnya. Bahkan, langkahnya yang lemas tidak sanggup lagi untuk bergerak.
Ia terjerembab dalam keletihan, tersungkur dalam kegelapan. Hanya bisa meraba lantai dan menjauh dari pintu. Karlina menemukan sudut di dekat ranjang di bawah jendela yang tertutup rapat. Menekuk kedua kakinya dan meringkuk memeluk lutut. Gemeretak gigi yang tidak terkendali dan tubuh yang bergidik kencang bagaikan gempa bumi.
Karlina mencoba untuk mengendalikan ketakutannya dengan menerawangkan pikirannya ke labuhan yang bisa membuatnya melupakan. Ingatan yang akan membuatnya bahagia, hanya di dalam pikirannya ia bisa merasa aman.
***
Tok-Tok!
Suara ketukan pintu pelan.