Robbie turun ke bawah dan merasa sangat berat untuk menghadapi Ibu dan adik perempuannya karena istrinya tidak ingin menemui mereka. Namun, perang urat syaraf itu sudah berlangsung lama. Robbie berpikir untuk kali ini saja akan memihak istrinya karena ia sudah mulai menyadari sesuatu. Jikalau ia tidak pernah bisa berpisah dengan Karlina, ia sangat mencintai istrinya.
“Karlina sedang tidak enak badan,” kilah Robbie sembari mempersilakan Ibu dan Winona untuk duduk di ruang keluarga. Namun, Nyonya Miranda lebih senang duduk di meja makan, akhirnya Winona dan Robbie mengikuti Ibu ke sana.
“Tidak usah menutupi kebohongannya, katakan saja Karlina tidak mau menemui, Ibu,” sindir Ibu. Wajah Nyonya Besar Miranda berubah lebih dingin dari sebelumnya. Matanya terlihat tidak senang sama sekali dengan sikap menantunya itu. Baru kali ini, seorang sepertinya diperlakukan tidak hormat oleh seseorang yang diangkat derajat olehnya.
Puteranya sangat hapal dengan ekspresi murka Ibunya. Sudah lama ia dibayang-bayangi oleh sikap Miranda yang sering memperlakukan teman-teman Robbie berbeda pada awalnya. Miranda akan memberikan semua yang mereka inginkan agar Robbie bisa masuk ke dalam lingkungan yang diinginkan itu. Awalnya Robbie berpikir kalau apa yang dilakukan Ibunya hanya semata-mata bentuk kasih sayang seorang Ibu. Namun, setelah dekat mereka akan dimanfaatkan untuk menjerat Robbie, agar lebih tunduk atas kemauan Miranda. Begitu juga yang terjadi dengan Karlina.
Robbie beranjak dari kursi dan berusaha mengalihkan pembicaraan itu dengan mengambil cangkir-cangkir di dalam rak dapur. Dengan susah payah Robbie mencari letak cangkir-cangkir itu, Winona berusaha membantunya hingga menemukannya.
“Ibu, Winona kalian mau kopi atau teh?” kilah Robbie lagi.
“Aku kopi, beberapa hari ini aku kurang tidur, hehe,” ucap Winona yang terlihat berseri-seri.
“Baiklah, aku akan membuat tiga cangkir kopi yang spesial untuk kalian, tunggu ya!” tutur Robbie bersemangat. Memasukkan biji-biji kopi yang berasal dari Kalimantan yang beraroma khas ke dalam mesin pembuat kopi. Tetesan-tetesan hitam dan murni itu mulai memenuhi wadah, ia segera menuangnya ke dalam cangkir.
Memberikan cangkir pertama kepada Ibu, lalu Winona dan dirinya sendiri. Tidak lupa mendekatkan porselen antik dengan lukisan bunga lily yang berisi susu cair dan juga gula untuk ditambahkan sesuai selera.
“Silakan, Ibu diminum,” ucap Robbie yang menyukai kopi hitam. Sementara Ibu menambahkan susu murni ke dalam cangkirnya dan juga gula. Winona hanya menambahkan gula satu sachet saja.
Slurup!
Robbie menikmati aroma yang keluar dari uap kopi yang dekat di hidungnya, lalu menyesapnya perlahan. Kepahitan yang terasa semakin nikmat karena merasakan pada akhirnya ujung lidahnya terasa manis dari kemurnian biji kopi pilihan.
“Kak, kedatanganku ke sini untuk mengatakan sesuatu yang menggembirakan, bahkan aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya,” ungkap Winona begitu antusias dan berseri-seri. Dari matanya terpancar sinar kebahagiaan yang kentara.
“Berita apa?” tanya Robbie penasaran.
“Hilman melamarku, Kak dan kami akan menikah secepatnya!” tutur Winona memperlihatkan cincin berlian sebagai lambang pertunangan mereka.
“Benarkah? Sungguh? Aku ikut senang mendengarnya, selamat yah!” sambut Robbie begitu senang dengan kejutan itu. Sembari menghampiri Winona yang berada di seberang meja, ia memeluk adik perempuan satu-satunya dengan erat. Winona melompat-lompat kegirangan dengan ucapan selamat dari Robbie.