Robbie mencari potongan daging lainnya, tetapi tidak menemukannya. Karlina mengetahui maksud Robbie dalam pikirannya itu. Ia ingin mengisi piring Karlina dengan makanan yang sama dengannya. Namun, sepertinya usahanya tak ada gunanya. Karlina sudah lama membiarkan Robbie menikmati makan malamnya sendirian.
“Aku sudah makan malam bersama anak-anak barusan, apa kamu lupa?” sergah Karlina sebelum Robbie bertambah kebingungan mencari makanan. Robbie tertegun ketika Karlina mengatakan itu, lalu kembali ke tempat duduknya merasa kecewa. Kekecewaan yang terus terulang.
Ketika Karlina hendak meninggalkannya, Robbie memintanya untuk menemaninya. “Untuk kali ini saja, temani aku,” pinta Robbie memohon. Karlina sempat menatap Robbie dan terenyuh. Itulah jika memandangi Pria tampan seperti Robbie yang memiliki kharisma berlebihan. Tak ada yang sanggup menatap matanya setelah detik ketiga.
Karlina beranjak dari kursi menuju lemari pendingin, ia mengambil salad sayuran yang dibuatnya untuk sarapan besok pagi. Membuka plastic wrap yang membungkus mangkuk, menuangkan isi ke dalam piring dan mengguyur saus buatannya.
Mereka saling menatap dengan canggung seperti kembali pada saat pertama kali mulai penjajakan. Kembali terkenang masa-masa itu di mana Robbie seorang manager Bank di mana Karlina sebagai salah satu stafnya. Karlina pegawai yang baru saja dimutasi dari daerah ke kantor pusat berkat rekomendasi atasannya. Ia termasuk pegawai yang cekatan dan pekerja keras.
Ketika itu, Karlina sering lembur karena tugas-tugas yang memerlukan penyelesaian dengan tenggat waktu. Ia harus memeriksa berkas pengajuan kredit nasabah yang sudah memenuhi persyaratan dan dokumen penunjang. Kesulitannya data-data itu seringkali memerlukan konfirmasi tambahan mengenai data-data pribadi yang tidak valid atau sudah mengalami perubahan. Contohnya nomor telepon, nama ibu kandung dan alamat yang ditinggali.
Jika Karlina belum selesai maka Robbie pun tidak bisa pulang karena memerlukan tandatangannya. Seringnya berada di kantor bersama, Robbie mulai menawarkan diri untuk mengantar Karlina pulang. Diam-diam Robbie mulai memperhatikan Karlina, ia membaca seluruh biodata pribadinya.
Robbie tertegun membaca dokumen Karlina yang menjadi tulang punggung demi Ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan. Karlina hanya tinggal berdua dengan Ibunya, dikarenakan Ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan. Semenjak itu, Robbie mulai bersimpati dan menyukai Karlina karena kecantikannya, kerajinannya dan juga sifatnya yang lugu.
Sebelumnya, Karlina sering menolak ajakan pulang bersama. Namun, pada suatu malam entah mengapa hari terkesan begitu sepi dan sunyi daripada biasanya. Taksi-taksi konvensional pun sulit sekali dipesan. Robbie sudah menawarkan bantuan akan mengantarnya pulang tanpa pamrih, tetapi Karlina tetap saja rikuh menerimanya.
Karlina sedang menunggu di lobi kantor menanti panggilan balasan dari maskapai taksi yang dipesannya, tetapi sudah hampir setengah jam belum juga ada supir yang bersedia mengantarnya. Robbie yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya, ke luar dari ruangannya melihat ke arah lobi di mana Karlina yang belum juga beranjak pulang.
Robbie setengah bimbang untuk segera keluar melewati pintu menuju parkiran atau mengajak Karlina sekali lagi meskipun akan ditolaknya. Di tengah persimpangan itu, Robbie memberanikan diri untuk menghampiri Karlina yang terlihat mulai resah dan putus asa.
“Sepertinya kali ini aku tidak akan ditolak lagi,” celetuk Robbie yang berada di belakangnya. Ia tersenyum dengan keyakinan jika kali ini, Karlina akan menerima ajakannya untuk pulang bersama.
Robbie berbalik hendak ke pintu yang mengarah ke parkiran dan terlihat Karlina yang masih saja duduk dengan cemas. Melihat Robbie yang semakin dekat ke arah pintu keluar. Karlina segera beranjak dan berjalan cepat untuk mengejar ketertinggalannya. Robbie tersenyum dalam, mengetahui Karlina menyusulnya di belakang.
“Pak Robbie, kalau boleh aku ikut sampai terminal,” ucap Karlina gugup. Robbie hanya mengangguk-angguk sembari berjalan menuju mobilnya.
Di dalam mobil, Robbie dan Karlina tidak bicara apa-apa, hanya lurus memandang ke depan. Semakin canggung saja sikap Karlina mengetahui jika atasannya itu, sosok pribadi yang tidak banyak bicara. Beberapa rekan Karlina juga sering mengatakan jika Robbie orang yang serius dan sedikit bicara.