Karlina mengurung diri di kamar rahasianya, tubuhnya merasa letih seperti berjalan bermil-mil jauhnya dan terasa sangat kelelahan hingga tidak sanggup lagi untuk sekadar melangkah. Bahkan, ia tidak bisa membuka matanya karena menangis semalaman. Kelopak matanya begitu berat untuk terbuka karena memaksakan diri untuk memejam kuat-kuat dalam tangisan. Kenyataan di depannya begitu pahit hingga ingin mengalami kebutaan sesaat. Jika kegelapan lebih menerangi jalanku untuk apa melihat cahaya yang membuatku tersesat.
Suara Robbie yang memanggil-manggilnya di seluruh ruangan hanya membuatnya semakin ingin menenggelamkan ke dalam kegelapan. Ia semakin masuk ke dalam sudut ruangan yang membuatnya merasa aman dari teriakan Robbie yang mencarinya.
Dini hari, Robbie baru saja pulang dalam keadaan mabuk, semalam ia berada di mana sudah tidak dipedulikan Karlina. Sudah lama Karlina tidak bertanya-tanya tentang keberadaan Robbie setiap malam dan pulang tanpa kesadaran. Ia tidak ingin menambah kadar kegilaannya jika memikirkan tentang hal itu.
Suara itu tidak terdengar lagi, Robbie pasti sudah tertidur di kamarnya. Karlina masih saja tidak ingin beranjak dari sudut kamar yang hanya muat dimasuki tubuhnya. Ia harus meringkuk untuk masuk ke sana. Di antara rongga almari yang menyimpan barang-barang tak berguna yang menyisakan ruang untuknya bersembunyi. Tiba-tiba, sebuah ketukkan terdengar di pintunya yang membuatnya terkejut, ia merasakan kehadiran seseorang.
Tok-Tok!
“Karlina, ini aku, ayo keluarlah,” ucap Nathan pelan. Mendengar suara Nathan, hatinya bergetar, perasaan berbunga-bunga seketika memenuhi rongga di dadanya. Entah kenapa hanya Nathan yang bisa membuatnya serasa hidup.
Nathan.
Bisikan Karlina yang merasa senang, tetapi tubuhnya terlalu letih untuk berdiri, ia tidak sanggup menyambut Nathan yang berada di balik pintu. Karlina tidak ingin bangkit meskipun pujaan hatinya memanggilnya. Rasanya ia sedang sekarat dan hampir mati. Seandainya, Nathan bisa mendobrak pintu itu dan menyelamatkannya, ia akan mencumbunya dengan penuh gairah.
Suara Nathan yang mencoba membuka tuas itu berhenti, langkahnya menjauh dari pintu. Karlina merasa kecewa dan sedih karena Nathan tidak melakukan apapun untuk menemuinya. Rintihan tangisnya mulai terisak lagi meskipun tidak ada airmata yang ke luar. Kelenjar matanya sudah kering hingga tidak ada lagi airmata yang menetes.
Breeng!
Breeng!
Suara bising dari luar, seseorang mendekati pintu kamar itu lagi dengan sebuah alat bor yang membuka baut-baut itu keluar dari lubangnya. Suara bising itu membuat mata Karlina mau tidak mau terbuka. Dari lubang yang dibuatnya itu, terlihat bola mata yang mencari ke dalam kamar, sosok wanita yang ingin diselamatkannya, tidak terlihat di mana-mana.
Mata Karlina yang membuka sedikit mengenali jika itu adalah Nathan yang sedang berusaha membuka pintu. Akhirnya, pintu pun berhasil dibukanya, ia memanggil nama Karlina dengan kegelisahan dan kehawatirannya. Nathan mendapati tubuh Karlina yang berada di sudut sempit itu terapit oleh almari dan dinding.
“Oh, Karlina, maafkan aku datang terlambat,” sesal Nathan yang menarik lengan Karlina untuk mengeluarkannya dari sana. Ia memeluk tubuh yang lemah melerai di dalam dekapannya. Memeluknya dan memeluknya lebih erat, membawa tubuh itu ke dalam kamarnya.
Membaringkan Karlina untuk beristirahat. Nathan menghela rambut yang menutupi wajahnya, mata yang sembab dan bengkak membuatnya merasa sedih. Ia mengambil sebuah handuk yang dibasahi dengan air hangat, mengompres wajahnya agar merasa lebih baik. Lalu, ia menyelimutinya agar tubuhnya terasa hangat.