Robbie pergi dari rumah, ia pergi ke seorang Psikiater langganannya untuk menenangkan pikirannya yang hampir kehilangan kendali. Ia khawatir akan menyakiti dirinya dan juga Karlina lebih dari itu. Ketakutannya sangat besar untuk mengakhiri hidupnya, begitu juga dengan Karlina yang sangat dicintainya.
“Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan,” rintih Robbie di depan Psikiater yang sudah lama dikenalnya. Robbie hanya bisa tertunduk malu di depan meja yang hanya terdapat satu patung berbentuk sepasang pengantin.
“Kalau begitu, kita mulai dari perasaanmu saja,” ucap Psikiater itu.
“Perasaanku? Hehe … perasaanku? Aku tidak tahu lagi perasaanku seperti apa,” timpal Robbie yang menertawakan dirinya sendiri. Bahkan, ia merasa itu sangat lucu meskipun saat ini ia sedang meringis.
“Kalau begitu, aku akan mendengarkan saja apa yang kamu ingin ucapkan,” imbuhnya. Psikiater itu memberikan waktu kepada Robbie untuk mengatakan apa saja yang diinginkannya, mengingat ini baru pertemuannya lagi setelah sekian lama Robbie tidak mendatanginya. Ia tidak ingin memaksa Robbie dengan pertanyaan yang tidak ingin dijawabnya.
Apa yang ingin kukatakan?
Robbie berusaha fokus dengan yang ada dipikirannya, tetapi itu sangat sulit dilakukannya karena pikirannya begitu bercabang. Ia tidak bisa menemukan satu kalimat utuh, ia begitu tersiksa dengan pikirannya sendiri. Psikiater itu bisa melihat kegusaran hati Robbie yang sudah berada di puncak kegalauannya. Sudah lama ia mengenal Robbie yang telah menjadi pasiennya selama bertahun-tahun pula.
“Robbie, tenanglah … di sini hanya ada aku, kamu aman di dalam pikiranmu sendiri,” bujuk Psikiater itu mencoba menenangkannya. Robbie terpatri dengan ucapan orang yang paling dipercayanya itu untuk saat ini. Ia segera menatap Psikiater itu yang mulai terperangah oleh kata-katanya.
Psikiater yang sangat menarik untuk seorang yang setiap harinya mendengarkan keluhan kejiwaan seseorang. Apa wanita cantik ini tidak pernah bosan atau merasa muak dengan semua kegelisahan klien-kliennya. Menghadapi orang-orang yang nyaris gila, sakit jiwa.
“Merasa aman di dalam pikiranku, sendiri? Ehehe” gumam Robbie untuk dirinya sendiri. Psikiater itu mengangguk-angguk menyakinkan Robbie.
Lalu, Robbie mulai menyandarkan tubuhnya ke sofa membuat dirinya merasa nyaman. Ia mulai menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan beberapa kali sampai merasa lebih baik.
“Selama ini, Karlina berselingkuh,” tutur Robbie menceritakannya dengan kepala yang menghadap ke langit-langit. Ia menceritakan keluh kesahnya, segala kemarahannya atas perbuatan istrinya itu. Ia merasa pernikahannya benar-benar di ujung tanduk.
“Aku merasa saat ini berjuang sendiri dalam pernikahan ini, aku lelah dan ingin menyerah saja,” keluh Robbie frustasi.