Karlina tidak tahan lagi hingga ia melempar barang-barang di ruangan penatu, beberapa keranjang, barang elektronik semua yang bisa diraihnya. Sampai emosinya terlampiaskan baru akan berhenti. Namun, amarahnya masih saja tidak mau mereda, ia berlari dari ruangan itu menuruni tangga mengambil kunci mobil dengan cepat.
Berusaha meninggalkan rumah itu selagi semuanya belum terlambat. Ia tidak ingin Robbie mengetahui isi hatinya apalagi uraian airmata yang hampir berderai deras. Karlina tidak ingin suaminya itu melihatnya seperti itu, ia tidak mau terlihat menyedihkan. Meskipun, sebenarnya Karlina merasa hidupnya memang sangat menyedihkan. Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya, harga diri, kebanggaan apalagi kebahagiaan.
Rasa sakit akibat pengkhianatan itu akan selalu membekas dan perlahan menghancurkannya. Karlina pergi menjauh dari rumahnya, ia tidak tahu harus ke mana. Dalam pikirannya hanya ingin pergi, melarikan diri.
Hatinya meringis karena teriris, rasa sakit hatinya tak kunjung pergi, semakin menyayat-nyayat dari dalam. Tidak sanggup lagi menahan kesedihan, ia menangis tersedu-sedu, di dalam mobil. Berhenti di tengah jalan yang tidak disadarinya, jalan bercabang yang harus ditempuhnya. Memilih berbelok ke jalan asing yang tidak dikenali, jalan lurus yang semakin jauh dari rumah atau berbalik arah kembali ke rumah yang penuh luka.
Saat ini ia benar-benar tidak bisa memutuskan ke mana harus menuju. Jalan yang terlihat mudah atau jalan terjal yang berliku, semuanya begitu menyengsarakan untuknya. Bagaikan fatamorgana di tengah gurun pasir, semuanya terlihat seperti jalan keluar padahal jalan berputar-putar.
Tiiinnn!
Klaskson dari kendaraan di belakangnya menyadarkan Karlina yang berada di tengah jalan menghalangi pengendara lain untuk lewat. Karlina segera melanjutkan perjalanannya, ia memutuskan untuk pergi ke Pusat perbelanjaan membeli sesuatu atau sekadar menghilangkan kekalutannya.
***
Memasuki kerumunan bukannya membuatnya merasa tenang justru menambah kegaduhan di dalam hatinya. Ia melihat lautan manusia yang melewatinya seperti memiliki tujuan berarti sementara ia berada di tengah-tengah kebingungan, ketersesatan. Karlina tersesat di antara semua orang, ia bisa melihat dari sinar mata mereka yang fokus pada sesuatu. Sedangkan dirinya hanya terombang-ambing oleh deburan ambisi di sekelilingnya.
Napasnya tersengal-sengal berusaha keluar dari ombak yang menggulungnya tenggelam. Ia melipir ke sebuah Café di dekat pintu lobi untuk memesan kopi. Karlina duduk di sudut yang sepi, tidak terlihat dari depan menghadap jendela kaca besar. Tetapi, dari arah luar tidak ada yang bisa melihatnya. Jendela itu terhalangi oleh banner-banner besar Kafe itu.
Pesanannya segera datang, kopi hitam dengan cangkir kecil yang menguak aroma tajam dan rasa yang pekat. Kandungan kafein yang berlipat-lipat dari kopi biasa, ia membutuhkannya untuk mengisi kekuatannya.
Bergetar tangan Karlina mengangkat cangkir itu, ia tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Hingga bibirnya harus mendekati bibir cangkir yang digenggamnya. Semua orang melihatnya seperti orang aneh, Karlina tidak memedulikan apapun saat ini.
Aaawh!
Prang!
Seduhan kopi itu terlalu panas membuat lidahnya melepuh, Karlina tidak sengaja menjatuhkan cangkir itu ketika ingin meletakkannya di meja. Ia tertunduk menangis menahan amarah, kekecewaan dan rasa malunya. Bahkan, ketika sorot mata itu tertuju padanya, ia benar-benar semakin gagap.
Pelayan segera menghampiri meja Karlina, membersihkan serpihan cangkir yang berserakkan. Sesekali ia menoleh pada Karlina yang sedang menangis, mengkhawatirkan keadaannya.