Robbie sejak tadi hanya menatap kosong pada kepalan tangannya yang tidak berhenti bertautan. Terus saja memijat-mijat syaraf-syaraf di seluruh tangannya, ia tidak tahu apa yang harus diceritakan di depan Psikiater itu. Robbie ingin pergi dari sana, semua pikirannya sedang tidak ingin dituangkan. Namun, Psikiater Ning Syamsudin hanya menantinya dengan sabar, duduk menyilang sembari memangku dagu. Tatapannya teduh, Robbie bisa merasakannya meskipun tidak menoleh. Dari ekor matanya, Robbie bisa melihat Ning tersenyum kecil menunggunya bicara.
“Apakah aku harus menceritakannya?” tanya Robbie gugup. Psikiater Ning hanya tersenyum seakan-akan mengatakan, memang itu yang harus dilakukan di sini, bicara.
“Aku tidak tahu apa yang harus diceritakan, semuanya terasa penuh. Pikiranku penuh, aku tidak tahu harus memulai dari mana?” tambah Robbie.
Tumpahkanlah semuanya.
“Aku merasa, saat ini kamu sedang marah? Apa yang membuatmu semarah ini?” tanya Psikiater itu. Robbie memang sangat sulit untuk mengawali sesuatu, tetapi setelah pancingan pertanyaan, ia akan bicara mengalir seperti air keran yang sulit untuk dimatikan.
“Aku membalasnya!” jawab Robbie.
“Apa yang kamu lakukan?” cecar Psikiater Ning, sembari mengubah posisinya menjadi tegak.
“Aku berselingkuh … dengan Karen, mantan Sekretarisku, wanita yang paling dibenci Karlina.” Dengan raut wajah yang mengeluarkan urat-urat pipinya, mempertemukan antar geraham dengan keras, kepalannya semakin solid bertautan, meremas-remasnya hingga berkeringat.
“Kenapa kamu melakukannya. Apa setelah membalasnya kamu puas. Untuk menyakitinya atau menyakitimu lebih dalam?” tandas Ning lagi. Pertanyaan itu membuat Robbie merasa tertohok, ia tidak menyangka jika perbuatannya memang telah menyakitinya lebih dalam.
Robbie tertunduk dari rasa malu, amarah dan semua yang bisa dirasakannya. Wajahnya berubah mencembik, rasa sedih mulai melemahkan seluruh syaraf yang sejak tadi menegang. Ia mulai melerai kepalan tangannya untuk menutupi mulutnya yang bergetar. Airmata itu sulit untuk terbendung lagi, seluruh tubuhnya tidak bisa diam menahan kepahitan kehidupannya.
“Maafkan, aku, maaf,” lirih Robbie bergetar. Psikiater itu memberikan selembar tissue yang bisa digunakan Robbie untuk menghapus airmatanya. Bahkan, ia mendekatkan kotak tissue-nya sekalian karena memprediksi kalau Robbie akan menangis cukup lama.
Benar saja, Robbie tidak hentinya menangis cukup lama seperti anak kecil.
“Kalau begitu kita selesaikan sesi ini sampai di sini,” ujar Ning menyudahi. Tiba-tiba, Robbie menggapai tangannya dengan wajah basah penuh airmata, ia menatapnya dengan sungguh-sungguh. Ning dengan paras ayu itu terkejut karena Robbie sedikit lancang, namun ia tidak berpikir sejauh itu, bahwa pasiennya berusaha merayunya.
“Jangan akhiri sesi ini, aku akan bicara, aku akan bicara, kumohon,” rayu Robbie yang menggenggam tangannya semakin erat. Menggumulnya hingga menutup semua. Ning merasa sedikit risih, tetapi ia juga merasakan genggaman hangat milik Robbie dan tatapan matanya yang tulus memohon, membuatnya terenyuh.
“Baiklah, silakan duduk kembali.”