Died In The Secret Room

Adine Indriani
Chapter #29

#Firasat Wanita Tua

September 2019.

Beberapa saat lalu, di sebuah panti jompo yang cukup mewah dibilangan Ibukota. Panti jompo New Castille yang sangat nyaman untuk para lansia yang ditinggalkan anak-anak mereka, karena tidak sanggup mengurus hari-hari tua disisa usia. Bukan berarti mereka tak sayang dengan Orang tua mereka, tetapi sebagian Para lansia memang menginginkan kehidupan yang sama dengan orang-orang seusianya. Sebagian lagi karena beberapa alasan kesibukan anak-anak mereka, tidak sanggup menangani Orangtua yang penyakitan, pikun dan merepotkan. 

Seorang wanita tua bernama Silviana Sarah tinggal di sana karena alasan pertama. Semenjak kematian suaminya beberapa puluh tahun silam, ia merasa sedikit tenang karena melihat anak perempuannya sudah berbahagia dengan Suami yang penuh kasih sayang mengurusnya. Membuatnya memilih untuk tinggal di Panti Jompo itu karena tidak ingin merepotkan anak perempuannya. Ia ingin memiliki kehidupan sendiri, bersama dengan orang-orang yang berusia rata-rata sama.

Silviana sedang berada di kamarnya, ia terlihat melamun di depan jendela kamarnya yang menembus taman belakang. Taman yang penuh dengan Para lansia yang sedang melakukan aktifitas bebas di sana, seperti bermain tenis meja, senam jantung, menyulam, bercocok tanam, mengobrol atau hanya berjalan-jalan di sekitarnya.

Seorang perawat datang untuk membersihkan tempat tidur Silvia yang sejak tadi sudah bangun terlalu pagi. Perawat itu membawa keranjang berisi selimut, sprei untuk mengganti yang lama.

“Selamat pagi, Silvia,” ucap salam dari Perawat Cindy sembari meletakkan keranjang itu di sisi tempat tidur. Silvia hanya menoleh dan melempar senyumannya. Cindy melihat mata Silvia tidak segar dan terlihat letih tidak seperti biasanya yang selalu ceria.

“Apa kamu sakit?” tanya Cindy yang segera menghampirinya sembari merogoh sesuatu dari kantungnya yang dalam. Sebuah termometer untuk mengukur suhu Silvia yang terlihat pucat.

“Tidak, aku baik-baik saja.”

Perawat itu memasukkan thermometer ke dalam sisi mulutnya dan membuatnya mengatup kembali. Cindy bisa melihat kalau Silvia tidak dalam kondisi fit.

Tit-Tit-Tit!

Suara thermometer itu berhasil mendapatkan suhu tubuh Silvia. “34,3 derajat.” Memasukkan alat itu ke dalam kantungnya dan merogoh alat lainnya, sebuah senter. “Bagaimana dengan tidurmu semalam?” tanya Cindy sembari menyalakan senter kecil seukuran pulpen dan membuka kelopak mata Silvia.

“Mungkin karena itu, semalam aku tidak bisa tidur,” jawab Silvia. “Tolong, jangan beritahu, Dokter. Aku baik-baik saja, kamu bisa memeriksa tekanan darahku atau apapun, tetapi jangan panggil Dokter.” Wanita Tua itu tidak ingin bertemu dengan Dokter dan meminum obat-obatan, ia merasa tidak sakit.

“Benar, kamu baik-baik saja?” tukas Cindy sembari menegaskan pandangannya. “Iya, aku yakin.” Membalas pandangan itu untuk menyakinkan Perawat Ramah yang sangat menyayanginya seperti orang tuanya sendiri; jikalau ia tidak sedang berbohong.

“Kalau begitu, ceritakan apa yang membuatmu tidak bisa tidur.” Cindy meminta imbalan dari upayanya untuk tidak memberitahukan Dokter tentang kondisi Silvia. Mendengar Cindy sedang menjebaknya dalam permainan, ia tersudut harus memberitahukannya agar posisinya aman. Silviana memiliki riwayat vertigo, gejala pusing yang teramat menyakitkan, seperti dunia berputar-putar dan bergempa bumi. Salah satu pemicunya karena ia sering memikirkan sesuatu sehingga membuatnya kesulitan untuk mendapatkan tidur nyenyak. Kondisinya itu pernah membuatnya stroke sebanyak dua kali, sehingga Cindy begitu khawatir dengan keadaan Silviana yang tidak ingin menemui Dokter.

“Aku bermimpi tentang, Karlina, mimpi yang sangat buruk.”

Cindy mengambil posisi duduk di depan Silviana untuk mendengarkan mimpi buruknya semalam yang telah membuat Silvia tak tenang hingga pagi.


Aku bermimpi berada di tengah hutan yang gelap. Aku tersesat … semuanya gelap. Kakiku sangat lelah, tak sanggup lagi menuntun arah. Lalu, aku melihat. Pohon besar tua seperti diriku, sudah tumbang. Aku duduk di sebuah penggalan besar kayu itu.

Tidak benar-benar duduk, aku hanya menyandar. Pohon itu sangat besar, hingga menutup seluruhnya. Lelahku belum usai, masih bisa mendengar suara napas sendiri yang terengah-engah.

Lihat selengkapnya