Prim's. Senyumku mengembang membaca papan nama besar di depan gedung tempatku berdiri saat ini. Kafe dan resto berlantai tiga itu adalah usaha yang aku jalani selama empat tahun belakangan. Berkat kerjasama Andra, sepupu tercinta, usaha ini bisa dirintis. Kebetulan Andra yang juga hobi memasak ketika itu masih belum dapat pekerjaan. Langsung bersambutlah cerita tentang rencanaku membangun Prim's. Selain Andra, ada Ando dan Andro, sahabat Andra, yang ikut serta dalam usaha ini.
Bisa dikatakan, Prim's adalah usaha patungan kami berempat. Namun, setelah tiga tahun yang lalu mereka bertiga akhirnya mendirikan perusahaan IT, mereka memberiku tanggung jawab penuh untuk Prim's. Meskipun begitu, mereka tetap meluangkan waktu untuk menjadi koki di Prim's. Ada dua hari khusus milik mereka. Selasa dan Kamis. Selain kedua hari itu, mereka kadang datang ikut membantu atau pun hanya sekadar berkunjung. Prim's sudah jadi rumah kedua bagi kami. Sebenarnya selain Andra, Andro, dan Ando, ada satu koki utama, Wira, dan dua asisten koki, Adi dan Utha, serta satu barista, Kali. Mereka yang bertanggung jawab di dapur selain hari Selasa dan Kamis. Aku? Hanya saat Prim's ramai pengunjung atau saat para koki tidak datang.
Prim's tanpa bantuan Trio A, julukan khusus untuk Andra, Andro, dan Ando yang aku tidak ingat darimana itu bermula, tidak akan sesukses sekarang. Berkat mereka, sejak awal dirintis, Prim's cukup ramai pengunjung. Wajah dan perawakan mereka cukup menjadi nilai jual yang tinggi. Mereka yang tampak seperti model atau artis selalu digandrungi para fans yang bahkan datang ke Prim's hanya untuk melihat mereka. Sejak ada satu keberanian seorang gadis meminta foto berdua dengan Ando, mulai bermunculan permintaan serupa kepada mereka setiap harinya sampai akhirnya kami mendapat pegawai sebagai pramusaji dan kasir. Hal penting yang harus diketahui selain ketampanan Trio A, tentu saja rasa yang nikmat dilidah, harga yang cukup dikantong, interior yang cozy, pelayanan oke, dan lokasi strategis nilai jual utama Prim's hingga bisa bertahan hingga sekarang. Jangan lupa tempat parkir yang cukup luas. Bukan sombong, tapi kami memang sudah memikirkan semuanya secara matang. Masalah jatuh bangun Prim's, tentunya pasti selalu ada cerita dibalik berdirinya suatu usaha.
Hari ini adalah hari Rabu. Aku melihat Hera, Manajer Prim's, sedang memberi arahan ke para pramusaji begitu beberapa langkah memasuki Prim's. "Pagi, Bu Prim," mereka menyapaku serentak. Aku tersenyum menjawab sapaan mereka lalu melanjutkan langkahku. Lantai satu Prim's kami jadikan sebagai tempat makan dan berkumpul dengan dekorasi kekinian. Lantai dua Prim's kami jadikan ruang semi formal untuk makan bersama dengan keluarga atau rekan bisnis atau bagi pengunjung yang ingin makan dengan tenang. Ada juga ruang privat bagi yang ingin mengadakan pertemuan privasi. Awal tahun Prim's dibangun, tidak ada perbedaan antara lantai satu dan lantai dua. Kami dekorasi semirip mungkin. Tapi sejak Trio A berbisnis, jadilah konsep lantai dua seperti sekarang ini. Terakhir, lantai tiga. Sebagiannya kami jadikan rooftop dan sebagian lagi menjadi ruang pegawai dan kantor, sekaligus tempatku dan Trio A berkumpul.
Saat aku sedang membaca laporan bulanan Prim's, sang Trio A yang digandrungi kaum hawa muncul di depan pintu. Entah ada angin apa pagi-pagi mereka sudah muncul di Prim's. "Pagi, honey, buddy, sweety," teriak Andra sambil berjalan lalu duduk di sampingku. Andro dan Ando hanya tersenyum kemudian duduk di sofa lainnya.
"Tumben banget pagi-pagi udah muncul di Prim's?", tanyaku. Jarang sekali mereka datang ke Prim's pukul tujuh pagi.
"Baru balik dari Catra langsung kesini mau numpang sarapan," jelas Ando. Dia dan Andro membuka jaket mereka dan menyampirkan di sisi sofa sedangkan Andra sudah memejamkan mata dengan nafas teratur menandai bahwa dirinya sudah terlelap. "Lah, udah tidur aja si Andra."
"Biarin, aja, Ya. Dia nyetir dari jam empat pagi dan belum tidur dari semalam," ucap Ando ketika aku ingin membangunkan Andra. Perihal Andra yang langsung tertidur begitu saja bukan hal aneh. Andra termasuk orang pelor, alias nempel molor. Sering sekali ketika kami sedang berbincang, Andra akan tertidur begitu saja. Padahal tidak sampai lima menit dia masih menanggapi ucapanku. Untungnya, ketika sedang fokus kebiasaan itu hilang, seperti saat dia yang mengendarai mobil pagi tadi. Tak terbayangkan jika Andra yang sedang menyetir lalu tiba-tiba tertidur. Bahaya sekali.
"Mau kemana, Ya?" tanya Andro saat aku bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu. "Pantri. Mau teh, kopi, atau air putih?"
"Kopi," jawab Andro dan Ando bersamaan.
Di lantai tiga, kami memang sengaja menyiapkan pantry untuk karyawan. Sekiranya ingin membuat kopi, teh, atau mie instan, mereka tidak perlu repot untuk ke dapur di lantai satu yang pasti sibuk dengan berbagai pesanan. Aku membuatkan Andro dan Ando kopi instan kenamaan. Itu paling mudah dan cepat. Buka bungkusnya, masukkan ke dalam cangkir, beri air panas secukupnya, aduk, dan selesai. Jujur saja, aku kurang paham tentang cara menyajikan kopi ala Kali sang barista. Meskipun kedua kakakku, Gali dan Ares, termasuk penikmat kopi, jika di rumah mereka hanya meminta dibuatkan kopi instan.
"Nih, kopinya," aku menyerahkan cangkir pertama kepada Ando, lalu cangkir kedua kepada Andro. "Thanks, Ya."
"Kalian kenapa pagi buta gitu dari Catra?"
"Jam sepuluh nanti, gue sama Andro mau rapat. Kalau si Andra ada janji sama Metha, mau cek baju pengantin katanya," jelas Ando. Aku hampir lupa pernikahan Andra dengan Metha dua bulan lagi.