Sosok itu seolah menarik ingatanku ke masa lalu. Ternyata bayangan yang terkubur itu masih aku ingat. Aku ingat. Ya, rasanya masih hangat dalam ingatanku kala itu kamu datang menghampiriku dengan senyum lebar. Dalam balutan jeans dan kaos polo sambil mencangkol tas hitam yang tampak cukup berat yang membuatku bertanya-tanya apa yang kamu bawa. Kamu berkata bahwa kamu memesan sebotol air mineral dingin, segelas cappucino, dan dua piring lasagna. Hal yang cukup membuatku tertegun kaget. Kamu mengiraku seorang pramusaji. Jujur, aku tertawa dalam hati. Menertawakan dirimu yang salah kira dan menertawakan diriku sendiri.
Tersihir senyumanmu, dengan bodohnya aku menurutimu. Aku berjalan menuju counter dan menyampaikan pesananmu. Sambil menunggu aku memperhatikan sekitar mencari keberadaanmu. Ah, kamu duduk bersama temanmu. Dari posisiku, hangat derai tawamu menarik perhatianku. Hal ini membuatku memberanikan diri memotretmu dari jauh sambil berdoa kamu dan temanmu tidak menyadarinya.
Setelah pesananmu selesai, aku meminjam pena pada seorang pramusaji. Aku menuliskan sebuah kalimat dibalik struk pembayaran pesananmu. Kemudian aku menyerahkannya beserta pesananmu kepada pramusaji itu lalu menunjuk mejamu. Sayang sekali aku tidak bisa mengantarkan langsung pesananmu. Aku melihat mejamu sekilas, merekam sedikit rupamu sebelum meninggalkan kafe tempat pertama kita bertemu.
•••
Aku dan Shasa memutuskan untuk makan siang bersama. Kebetulan hari ini kami pulang cepat karena ada rapat guru. Bahkan kami belum sempat memulai pembelajaran tadi. Kami baru saja berkunjung ke Jasmine's Floral. Nama tokonya Jasmine dan pemiliknya adalah ibunya Jasmine, teman SMA kami. Jasmine's Floral bisa dibilang toko bunga terkenal di kota ini. Kalangan elit yang biasanya menjadi langganan disana. Aku sebenarnya tidak begitu dekat dengan Jasmine. Aku memang satu kelas dengan Jasmine dan dia sangat baik, tapi aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan Shasa yang berada di kelas unggulan atau kadang bertiga dengan Reni jika tidak sibuk pacaran.
Tadi sebelum pulang sekolah, Astra, si ketua kelas, menitipkan buku tugas untuk Jasmine yang harus dikumpulkan besok. Jasmine memang tidak masuk tadi. Sakit, begitu keterangan di presensi. Kata Astra, karena rumahku searah dengan toko bunga yang juga rumah Jasmine, jadi lebih efesien jika aku yang mengantarkannya. Astra orang terstruktur dan paling rapi yang aku kenal. Tipe yang tidak ingin membuang waktu cuma-cuma dan tidak suka hal rumit. Bossy dan saklek. Kadang agak menyebalkan memang. Padahal dari rumahku perlu waktu 20 menit untuk sampai ke Jasmine's Florist. Untung saja Kak Ares, yang membawa mobil Kak Gali, sedang libur kuliah dan mau mengantarku. Bukan karena aku sebenarnya, tapi karena ada Shasa yang ikut dengan kami.
"Ya udah sana. Biar gue yang tunggu titipan Reni. Lo tunggu gue di parkiran, ya," aku menutup panggilan telepon Shasa. Rupanya dari toilet dia ingin langsung ke parkiran. Hari pertama menstruasinya datang. Itu sudah seperti neraka untuk Shasa. Pernah beberapa kali dia hampir pingsan karena hal itu. Menstruasi Shasa juga bisa jadi neraka bagi orang sekitarnya, termasuk aku. Siap-siap jadi pelampiasan amukannya menahan sakit.
Kak Ares, sejak lima menit Shasa ke toilet, langsung menghilang. Memang menyebalkan kakakku yang satu itu. Suka sekali memodusi Shasa. Sambil menunggu pesanan Reni, aku menumpuk piring di mejaku dan menggesernya beserta gelas ke sisi tengah meja agar pramusaji lebih mudah merapihkannya. Cukup untuk meringankan pekerjaan mereka yang bisa dibilang melelahkan jika kafe ramai seperti saat ini.