"Vega!" membuka pintu kamar kasar begitu saja.
"Apasik mah," sambil mengucek mata.
"Itu temen kamu masih nungguin di bawah, ke bawah Vega!" perintahnya dengan tatapan tajam.
"Ha?" masih kurang kesadaran.
"Vega mau mamah tarik kamu sampai ke bawah?!" meninggikan volume suaranya.
"Ayo Ranza!" mendorong tubuhku sampai ke bawah
Aku berjalan terkantuk kantuk, masih kurang kesadaran. Sesampainya di ruang tamu kulihat ada seorang perempuan dengan seragam sekolah tengah duduk menatap kearahku sambil tersenyum.
"Hah dia masih di sini?" tanyaku agak ngantuk pada Hara.
"Iya, temuin aja bentar ya Ranza," tersenyum.
"Iya udah Ranza temuin," berjalan tergontai gontai kearah ruang tamu.
"Hai Ranza, baru bangun yah?" tersenyum kearahku.
"Hmm," menyenderkan kepala pada senderan kursi dan menutup mata.
"Aku ada pertanyaan penting Za. Setelah kita jabat tangan kamu ngomong sama siapa, siapa yang kamu tarik?" membuatku membuka mata lebar.
"Ha?" kaget.
"Aku tau ada yang gak beres, gak mungkinkan kamu ngomong sama angin. Bisa jawab jujur Za?" menatapku lurus.
"Heh emang siapa lo perlu tau semua tentang hidup gue?"
"Aku temanmu."
"Terus kalo lo teman gue, lo berhak tau semua hal tentang gue!" kesal.
"Berhak Za, aku perlu tau, aku perlu tau semua tentang kamu!" lebih tegas lagi.
"Eh, lo itu gak sekedar dari temen biasa. Temen yang bakal pergi juga kan, gausah tau lo semuanya tentang gue kalo cuma mau singgah!" berjalan kearah tangga.
"Gak Za, aku beneran mau jadi temen kamu, aku ingin," berdiri dari posisi duduknya.
"Kenapa?" tersenyum miris tanpa membalikkan badan menghadapnya.
"Aku ingin, pliss, aku mohon!" memohon dengan menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Heh emang dari kata temen bisa jadi alasan lo perlu masuk terlalu dalam ke kehidupan gue?" sebelum akhirnya melanjutkan langkah menaiki tangga.
"Ranza," membuatku terhenti.
"Hara mohon, tolong terima permintaan Jauza," menangkupkan tangannya sambil menangis
Aku terhenyak mendengar suara dan isakan tangis Hara. Aku membalikkan badan dan terlihat Jauza yang tengah menangis sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Hara mohon!" menjatuhkan lututnya di lantai.
"Ha...Hara," tak percaya.
"Hara mohon Ranza, plisss Hara mohon!" masih sambil menangis.
Memakai tubuh Jauza untuk memohon dan memperlihatkan sisi lemahnya. Kenapa, kenapa perlu segitunya. Dia kira aku bisa mendengar tangisnya, dia kira aku bisa melihat sisi lemahnya. Aku berjalan menghampiri Jauza yang tengah mendudukkan diri di lantai. Kupeluk tubuh itu sambil menangis.