Hari ini di rumah aku hanya mendengar keributan. Aku capek habis sepulang sekolah, takut juga mendengar setiap teriakan papah, dan mata merahnya yang terus menyala. Tapi dengan bodohnya aku melindungi adikku, adik yang selama ini kubenci. Aku juga tak tau awal mulanya masalah itu terjadi karena apa. Saat tiba di rumah ini, keributan itu sudah terjadi.
###
"Duduk kamu!" menghempasnya keatas sofa.
"Kamu itu buat malu aja!, ngapain buat masalah!" menatap nyalang.
Aku awalnya hanya mendengar keributan itu dari lantai bawah, malas ikut campur apalagi masalahnya tentang Rasma, adik yang tak kuharapkan ada di hidupku.
Tapi entah daya tarik darimana coba, mungkin dari Hara bisa jadi. Hara sibuk berteriak teriak di telingaku, sibuk menarik narik bajuku, rambutku, semua hal dicobanya. Sampai akhirnya aku mendengar teriakan Rasma dari bawah yang membuat hatiku entah kenapa tergerak hendak membantunya.
"Aaahhhhhh papah sa...sakit!!!"
"Cepet Ranza, susulin, cepet!!" mendorong dorong tubuhku.
Aku sesegera mungkin berlari melihat dari atas. Kaget dengan apa yang kusaksikan, aku berlari lebih kencang menuruni tangga, tak peduli apabila aku akan jatuh.
"Papah gila!" Berdiri di depan Rasma yang hanya terduduk di lantai yang basah.
"Apa apaan kamu, mau ikut campur?!" menatapku nyalang.
"Heh, papah tau gak semua hal bisa papah lakuin, semuanya!. Hentikan pah, percuma kan papah ngelakuin ini, toh papah udah punya kekuasaan atas apa yang papah inginkan," menatapnya miris.
"Beraninya kamu, kenapa kamu melindungi adikmu yang bahkan tak pernah melindungimu, basi," tersenyum meremehkan.
"Anda itu bukan papah saya!, mana ada seorang papah berbicara yang tak pantas diajarkan pada anaknya, mana ada seorang papah yang tega menyakiti anaknya. Papah apa ini!!" teriakku emosi.
"Sini biar papah siram juga kamu!" melemparkan air di dalam ember.
Tapi anehnya air itu tak mengenaiku. Kaget tentu saja, bahkan di wajah papah terpampang raut kagetnya.
"Hara," melihat Hara yang basah kuyup di depanku.
"Tak apa Ranza, Ranza lindungi Rasma saja," tersenyum kearahku.
Entah apa yang direncanakan Hara, tapi aku tau ada sebuah ide luar biasa dari tatapan matanya. Aku hanya membantu Rasma berdiri, memapahnya ke kamar yang berada di lantai satu.
"Kakak kenapa bantu Rasma?" setelah kududukkan di kasur.