Bumi di masa depan.
Batinnya melafalkan sesuatu, yang dianggap mantra ampuh menguatkan pikiran; mengubah bentuk suatu benda sesuai keinginan. Namun, meski telah ratusan kali merapal, tidak terjadi apa-apa kecuali oleh kakaknya, Sankar.
Mitah memperhatikan Sankar yang memunggunginya, seperti memandangi sepiring nasi basi hendak dilempar jauh-jauh. Partikel-partikel berupa perasaan iri terus berjatuhan di palung hatinya; mengendap dan mengeras, lama-lama membukit. Ia biarkan keburukan berkembang hingga berbuah penyakit hati dengan penuh kesadaran.
Angin mengempas rintik-rintik hujan. Mitah masih berdiri di halaman depan rumah—tanah berumput hijau seluas seperempat lapangan sepak bola—tangannya menggenggam gagang payung hitam. Sebagian rintik terhalau payung, yang dimekarkan saat hujan turun. Sesekali telempapnya menyeka pipi dan kening, akibat butiran air menghinggapi lekuk wajah. Bibirnya mengerucut, jemarinya semakin mengeratkan genggaman gagang payung. Matanya membeliak seolah-olah ada jejak bara pada pupil.
“Aaarrrggghhhttt!” Mitah melempar payung.
Sankar menoleh, berbalik, sepersekian detik memperhatikan tingkah adiknya. Sejenak memikirkan apa yang harus diperbuat supaya Mitah melupakan keinginan untuk bisa seperti dirinya. Apakah harus ikutan kuyup oleh hujan? Haruskah memasang wajah geram? Setelah menimbang-nimbang baik buruknya, dia menyunggingkan senyum.
Mitah memalingkan wajah. Baginya senyum itu palsu dan penuh sandiwara. Aku kehujanan sedangkan dirimu tidak. Pamer? Dengan mempertunjukkan kemampuan di depanku, sungguh menyakitkan dan bikin kesal. Mengapa Tuhan menciptakanmu bagai manusia super dan membuatku bak manusia idiot?
Mitah masih senyum, walau tahu itu percuma. Selang beberapa detik, bibirnya membentuk garis lurus kala iba melihat rambut Mitah; panjang lurus berwarna hitam dikepang satu lagi diperas-peras. Air mengalir dari celah tiap helai rambut.
“Kepalaku rasanya berat sekali,” rajuk Mitah. Tiba-tiba dia merasakan hal ganjil. Sesaat memperhatikan cuaca dan sekeliling, masih hujan, tapi air tidak lagi membasahi tubuhnya. Dia pun tengadah. “Sihir macam apa yang kamu gunakan, Kak? Rintik hujan sanggup kamu bentuk menjadi perisai air untuk menghalau tetesan dari langit supaya tak mengenaiku dan dirimu.”
Sankar melangkah perlahan mendekatinya sambil berucap, “Telah ratusan kali kukatakan, bahkan kau pun tahu, ini bukan sihir. Kemampuanku makin berkembang selama sering dilatih. Setelah melewati masa ribuan tahun, generasi manusia zaman sekarang berada pada fase di atas normal. Pada zaman nenek moyang, yang kuperbuat memang dianggap tak lazim, tapi sekarang sudah hal biasa.”
“Bagiku ini sihir. Kamu membuat perisai dari air.”
“Lebih tepatnya memanipulasi benda. Dari bulat menjadi pipih. Dari lemah menjadi kuat. Runcing menjadi tumpul. Termasuk menggerakkan dan membuat melayang. Jika kumau pun, aku bisa melayangkan tubuhmu termasuk diriku.”
“Tidakkah kamu tahu, Kak. Banyak manusia ingin menjadi sepertimu.”
Sankar menghela napas. Kembali berkata, “Sungguh? Tidakkah kau tahu banyak orang sepertimu mampu hidup dengan caranya masing-masing?”
Agaknya perkataan itu membuat Mitah menelan ludahnya sendiri.
“Kau tahu, Mit?”
“Tahu apa?”
“Kau spesial. Hanya saja sifat burukmu seolah-olah membuatmu memprihatinkan.”
“Hanya karena tujuh belas tahun tinggal serumah denganmu, semudah itu menilai diriku?”
“Dan bagiku, dua puluh lima tahun hidup, sudah cukup untuk mengenal perangaimu selama serumah.”
“Aku paham, Kak. Perbedaan umur, membuat cara kita memahami hidup itu berbeda.”