“Masuklah, Kak!” Mitah langsung membuang muka, memunggungi, lalu menjauh dengan kembali duduk di tepian tempat tidur.
Sankar melangkah selangkah dan berhenti di ambang pintu. Sesaat sudut-sudut bibirnya bagai membentuk bulan sabit, kemudian bersedekap, lalu menghela napas hingga dadanya terangkat. Dia merebahkan samping kanan tubuhnya ke bingkai pintu logam bercat putih—seperti kursif dengan menyilangkan kedua kaki—tapak kaki yang dibungkus sepatu kulit hitam itu tampak goyah menjejak lantai marmer. Matanya yang berpupil warna cokelat tua seakan-akan berbinar.
“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, Kak? Gayamu itu, lho. Sok perlente!”
“Entah. Aku hanya ... bagaimana menjadi dirimu. Kau bisa saja memukul dadaku, atau menampar. Yang paling fatal kau bisa saja, kan ... bila mau memukul keningku—”
“Dan bila itu terjadi, dengan mudahnya kamu empas tubuhku atau membuatku melayang.”
“Pernah kulakukan itu padamu?”
“Suatu saat nanti!”
Sankar geleng-geleng seraya terkekeh geli.
Mata Mitah menyeruak melihat tingkahnya. “Pergi dari hadapanku atau masuk!”
“Selow kali.” Melangkah malas, kentara dari gerak kaki agak berat. Tepat sebelas langkah berhenti di hadapan Mitah—menyampingi cermin—sejenak menoleh mengamati dirinya. Kemeja merah jambu dipadu celana panjang hitam, tampilannya jauh dari kesan kasual. Selang beberapa detik berpaling dan menatap adiknya. “Seharusnya kau senang karena kita mendapatkan prioritas masuk gratis sekolah itu.”
Mitah tengadah dan perlahan-lahan menyusuri lekuk rahang hingga pinggangnya. Ia terpejam saat melihat bulu perut tampak dari sela-sela klep kemeja tak terkatup dengan benar. Selang sedetik mencelik dan langsung menautkan mata kancing bagian bawah kemeja ke lubang kancing yang tidak ditautkan. “Jangan terlalu bodo amat dengan penampilanmu, Kak.”
Sankar terkikik, lantas menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Detik-detik berlalu, perasaan malu memudar. Sejenak dia menyentuh kepala Mitah, mengelus-elus lembut rambut hitamnya sembari berceloteh, “Maaf, ya ....”
“Lupakan saja. Sebenarnya aku tak tahu jika kita akan digratiskan. Omong-omong aku hanya menyampaikan sesuatu yang benar. Pemerintah telah banyak membuat aturan hidup warga negara, bukan berarti ikut campur juga mengurusi: minat dan impian warganya. Biarpun itu tidak cocok dan di luar kemampuan manusia itu sendiri, bukan berarti tidak mampu mewujudnyatakan. Misalnya, seseorang tidak bisa bernyanyi tapi ingin menyanyi, sah saja jika ingin belajar, kan? Sekolah baru itu tidak lain hanya ingin mempertegas dan meyakinkan supaya manusia tahu diri di mana tempat dan tujuan hidupnya, bukan memberi peluang untuk meraih sesuatu.”
“Aku tahu itu, Mit—”
“Tapi yang kulihat kakak tidak ada bedanya dengan imbicilie!”
Sankar mundur selangkah. “Kau sungguh menyamakanku dengan manusia ber-IQ 30?”
“Sebutannya memang begitu, kan? Tidak adakah rasa berontak atau menangkap hal lain dari sisi gelap sekolah itu? Wajarlah kusebut kamu begitu.”
“Jika moron disamakan denganku, itu masih dapat kuterima.”
“Tetap saja, IQ 50-69 itu termasuk bodoh.”
“Terus saja kau hina kakakmu ini, bila itu dapat meredam emosimu.”