“Selalu ada ruang untuk sebuah cerita yang dapat memindahkan pembaca ke tempat lain.”— J.K Rowling.
Siapa yang tidak ingin menjadi populer?
Populer identik dengan seseorang yang terkenal dan memiliki banyak penggemar. Contohnya; Queen bee, yang masa SMA bisa menjadi masa-masa paling menyenangkan dalam hidup, sekaligus moment paling menyengsarakan yang bisa menghantui hingga tua nanti.
Banyak yang bilang, masa SMA merupakan masa-masa paling indah. Mungkin kalimat klise di atas memang benar adanya, namun hal tersebut tentunya tak berlaku bagi semua orang.
Masa remaja akan terasa indah jika kita masuk ke dalam jejeran murid populer, berprestasi, punya banyak teman, dan tak pernah memiliki masalah serius dalam bersekolah.
Hari ini—Rabu yang artinya kelas XI IPA 2 pelajaran olahraga. Tampak Chiara dan Dean tengah duduk di tribun, karena pelajaran Mr. Mikael telah selesai. Mereka diperbolehkan untuk istirahat sembari menunggu bel istirahat yang akan berbunyi setengah jam lagi, dengan catatan tidak boleh bolos atau pergi ke Kantin.
Seorang lelaki tampak sedang sibuk memasukkan bola ke dalam ring bersama dengan temannya yang lain, seolah tak memperdulikan sekitar dan teriknya matahari.
Sedangkan kedua temannya yang lain sudah memilih untuk beristirahat di tribun dengan posisi berbaring dalam keadaan peluh yang bercucuran.
“Sana jauh-jauh, lo berdua berkeringat!” seru Chiara.
“Kenapa kalau gue sama Kent berkeringat, ada masalah?” tantang lelaki bermanik hijau dengan rambut pirang.
“Bau ogeb.” serang Chiara.
“Yang bau juga kami, kenapa yang sewot situ,” cela Kent membuat Chiara semakin kesal.
“Emang sialan lo pada jadi cowok.“ maki Chiara.
“Biarkan, ayo ke atas, kelas kita.” Dean menarik tangan Chiara menjauh dari kedua lelaki menyebalkan itu.
“Noh, Alana sama Luna di atas.” sambung Dean sambil menunjuk ke atas dimana Alaina dan Luna tengah menatap lapangan basket.
Dari kegiatan semua itu—Alaina dan Luna tampak memperhatikan dua lelaki yang sedang merebutkan sebuah benda bulat berwarna oranye dari lantai dua. Tidak hanya kesitu pandangan mereka—Luna contohnya; dia sedang memperhatikan gerak-gerik seorang gadis yang tampak sedang menunggu seseorang, dengan kedua tangannya yang memegang sebotol minum dingin dan juga handuk kecil berwarna putih.
Alara—gadis yang sedang diperhatikan Luna. Kini fokus Luna kembali kepada lelaki berambut hitam gelap dengan manik mata senada.
Sangat jelas dimata Luna, bagaimana Lara berlari menghampiri lelaki itu saat tampak selesai bermain basket, lalu memberikan minuman dingin yang digengamnya tadi kepada lelaki itu, hingga terakhir Lara mengelap peluh keringat lelaki itu menggunakan handuk kecil putih dengan telaten.
Siapa lelaki itu—mengapa terlihat sangat akrab dengan Lara. Akhir-akhir ini Luna sering melihat Lara menghampiri, berjalan bareng hingga pulang bersama dengan lelaki itu. Awalnya Luna mengira bahwa lelaki itu adalah satu-satunya teman yang dimiliki Lara karena rasa kasian, namun belakangan ini rasa penasaran itu mengelut di dada Luna, akan tentang hubungan Lara dengan lelaki itu.
“Siapa?” tanya Alaina—mengalihkan tatapan Luna akan sepasang makhluk berlawan jenis di lapangan basket.
Luna mengedik bahunya, “Gue rasa teman sekelas Dean dan Chiara.”
“Bukan itu. Hubungan Lara dengan lelaki itu, maksudnya.” terang Alaina.
“Pacarnya, mungkin.” jawab Luna asal.
“Kalian bolos ya.” tuding Chiara.
Luna menoleh, “Abis ulangan, gelombang pertama.”
“Nara mana?” tanya Dean.
“Beda gelombang.”