“Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi...”
Semilir angin yang dipadu dengan terik sinar matahari, memang pantas untuk dihindari. Bukan hanya membuat kulit terbakar, namun juga membuat gerah secara bersamaan. Gadis dengan rambut pirang yang dicepol asal itu perlahan mengangkat tangannya berusaha menghalau teriknya sinar matahari.
Seragam berantakan dengan kancing baju yang terbuka satu, serta jas almamater yang sudah tersampir ditangan kanannya menambah kesan sexsi dan cantik. Bukannya dicela, malah sebaliknya.
Gadis itu seakan menjadi tontonan yang menarik, walau kesan berantakan melekat di dirinya saat ini tidak membuat kaum adam menghindar, malah semakin berkumpul untuk memperhatikan gadis itu lewat.
“Luna jam 10 malam, okey.” pesan seseorang dengan tepukan halus dipundak gadis bernama Luna itu.
Luna menghela berat, “Udah lebih dari dua puluh kali lo ngingati gue.” ujarnya gusar.
Seseorang itu menyengir, “Sengaja biar lo nggak lupa, hehe.”
“Gue nggak pikun.” sergah Luna.
“Okey, okey.” seseorang itu tampak mengangkat tangannya,
“Alana sama lo–nya. Gue sama Dean duluan, kita jumpa di ruang VIP aja.” sambungnya.
“Hm.” gumam Luna.
“Jumpa nanti malam, girl.”
Gadis dengan nametag Lunashya Ainsley Kensky itu tampak masuk ke dalam mobil sport merahnya, melaju memasuki jalan raya dan meninggalkan pekarangan sekolah.
Hingga lima belas menit kemudian ia sampai rumah. Luna tampak tidak berkeinginan turun, ia kelihatan sedang menautkan kedua alisnya saat melihat sebuah mobil Audi putih sedang terpakir di depannya.
Apakah dia pulang? Sungguh—entah kenapa melihat Audi putih itu degup jantung Luna tidak beraturan, jelas ia sangat kenal dengan Audi putih itu. Ada sebuah perasaan bergemuruh di dadanya, membuatnya turun dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Ternyata dugaannya benar, saat Bibi Rena datang menghampirinya dengan tersega-sega dan menyeru sesuatu yang membuat lengkungan bibirnya melengkung sempurna.
“Nyonya pulang, Non.”
Luna meneguk ludahnya, memberikan tas serta jasnya kepada Bibi Rena. Ia menatap Bibi Rena dengan pandangan bertanya, “Udah lama Bi? Mami udah makan?”
Bibi Rena menggeleng, ”Sudah satu jam yang lalu Nyonya pulang, dan selama itu pula Nyonya tidak keluar dari kamar. Nyonya tidak mau makan, bahkan Bibi saja tidak bisa bicara dengan Nyonya.” katanya dengan sedih.
Luna memejamkan matanya sesaat, lalu menghembuskan nafasnya perlahan-lahan, “Bawa tas dan jas saya ke kamar saya ya Bi. Saya mau ke dapur masak untuk Mami.”
Luna memasuki dapur—mengambil bahan-bahan mentah. Dia akan memasak sekarang, memasak makanan kesukaan mamanya, nasi goreng udang. Setelah bahan yang dibutuhkan sudah lengkap, gadis itu langsung memasak dengan serius dan telaten.
Akhirnya—nasi goreng dengan beberapa Udang sudah siap. Luna membawa nampan berisi nasi goreng dan susu Vanilla buatannya itu. Gadis itu masuk ke dalam kamar dan menghela nafas lelah saat melihat wanita parubayah tengah berdiri di balkon.
Luna meletakkan nampan itu di nakas. Dia menghampir wanita parubayah itu, lalu memeluknya dari belakang.
“Kenapa siang-siang gini di balkon, Mi. Nanti kulit Mami bisa terbakar dan menghitam.” gumamnya dengan suara tercekat.
Wanita parubayah itu tampak menegang, namun kembali rilex saat mendengar sapaan lembut dari seorang gadis remaja. Wanita itu berbalik menatap Luna dengan senyuman tulus.