“Jangan jadikan adanya dirimu sebagai pilihan kedua bagi seseorang, jadilah yang pertama dan satu-satunya atau tidak sama sekali.”
“Hai bangunlah gadis sombong!!”
Aktiva menepuk pelan pipi seorang gadis yang saat ini tengah tertidur. Dia menghela berat melirik sekilas ke arah ranjang tidurnya yang di tiduri oleh seorang gadis. Dia mendekati telinga gadis itu—berteriak lumayan kencang.
“Gadis sombong bangunlahh!!”
Gadis itu—Luna akhirnya terbangun. Dahinya berkerut saat merasakan kepalanya yang pusing dan sakit. Dia membuka matanya dan menggeliatkan tubuhnya, secara perlahan bulu mata lentik itu terbuka. Mata cokelat terangnya bergerak menatap pada seluruh ruangan, dia mengerutkan keningnya saat tidak mengenali ruangan tersebut.
Luna segera bangun dan melebarkan matanya saat melihat kamar yang tidak dia kenal menyapa penglihatannya. Astaga dimana dia?
“Akhirnya bangun juga si gadis sombong ini,” erang seorang lelaki.
Luna yang mendengarnya menoleh. Lalu bangkit dan menatap Aktiva dengan teduh, seakan tidak merasa takut karena paginya disapa oleh seorang lelaki. Ah tunggu, dengan buru-buru pandangannya turun ke bawah memperhatikan tubuhnya yang masih lengkap menggunakan pakaian semalam.
Luna menghela lega saat melihat tubuhnya masih sama seperti malam kemarin. Dia kembali menoleh ke lelaki itu.
“Dimana gue sekarang?”
“Apartement gue.”
Luna memijat keningnya dengan pelan, “Kenapa bisa gue di sini?”
“Dasar gadis sombong, jika lo nggak bisa minum maka jangan terlalu memaksa untuk minum banyak.” keluh Aktiva.
“Oh, ayolah gue emang payah dalam urusan minum. Tapi bisakah lo memberikan gue segelas air, kepala gue sangat pusing.” sergah Luna dengan suara serak.
“Dasar badebah! Gadis sombong yang merepotkan.” desis Aktiva berjalan ke nakas untuk menuangkan air mineral.
“Nih.” Aktiva menyodorkan air mineral dan langsung ditengak Luna hingga kandas.
“Terima kasih.” gumam Luna tulus.
“Bisa berterima kasih juga gadis sombong ini.” dengus Aktiva dengan suara cukup pelan.
Luna meringis, “Dari tadi lo selalu mengatai gue gadis sombong.”
Aktiva menatap Luna dengan pandangan takjub. Bagaimana bisa gadis ini mendengar ucapannya, setahunya dia mengucapkannya secara pelan. Pendengaran gadis ini benar-benar tajam dan Aktiva harus berhati-hati.
“Pulanglah, ini kunci mobil lo.” Aktiva melempar kunci mobil milik Luna.
Dahi Luna kembali berkerut, “Lo ngusir gadis sombong ini,” sindirnya.
“Iya sekarang pulanglah.”
“Tapi gue merasa pusing dan—”
“Pulanglah, ini masih cukup pagi. Lo harus sekolah bukan?” potong Aktiva cepat.
Ah iya—Luna mendengus. Lalu dengan berat hati gadis itu bangkit melangkah, dia mengambil handbag guccinya lalu pergi meninggalkan apartemen Aktiva.
Setelah gadis itu benar-benar pergi, Aktiva menghempaskan dirinya di ranjang sizenya lalu memejamkan matanya sejenak. Dalam hati dia merutuki dirinya, seharusnya semalam dia menolak permintaan Alaina untuk mengantar Luna pulang jika ujung-ujungnya jadi begini.
Aktiva harus memutar kota Jakarta karena mencoba mencari rumah Luna. Sial memang dirinya lupa bertanya dimana alamat rumah gadis itu, sehingga dia harus rela berputar-putar kota Jakarta sampai jam tiga dini.
Karena tak kunjung jumpa, ditambah ponsel gadis sombong itu mati karena kehabisan baterai akhirnya dia memutuskan membawa Luna ke apartemennya. Dan dia meletakkan tubuh gadis itu di ranjang miliknya, namun resikonya malah dirinya yang bingung mau tidur dimana.
Tidak mungkin Aktiva tidur di ranjang bisa-bisa dia lepas kendali lagi, bagaimana pun juga Aktiva tidak ingin kejadian tiga tahun yang lalu terulang.
Waktu terus bergerak dan Aktiva memilih untuk tidur di sofa ruang tengah. Namun sial dia tidak bisa tertidur, akhirnya Aktiva memilih untuk membuat kopi dan menonton televisi.
Saat waktu menujukkan pukul lima pagi, Aktiva harus berperang lagi. Dia harus membangunkan gadis sombong itu, karena hari ini bukanlah hari libur maka gadis itu harus segera pulang supaya bisa masuk sekolah. Walaupun Aktiva tidak nyakin namun tidak salah bukan untuk mencoba?
Sungguh Aktiva sangat mengantuk. Baru saja matanya terpejam namun lagi dan lagi ada saja yang mengganggunya. Dering ponselnya membuat Aktiva terpaksa membuka matanya kembali lalu meraihnya dan melihat nama pemanggil di pagi hari begini—Bumi.
“Hello, Tiv?”
“Hm?” gumamnya.
“Lo dimana sekarang?”
“Apartemen.”
“Eh, bego. Anak orang lo bawa kemana huh!”