“Mempunyai keluarga yang tak lagi utuh, bukanlah kemauan semua orang. Karena keluarga yang awalnya utuh, menjadi tak utuh akibat sebuah kesalahan yang terjadi. Semua orang merasa hidupnya tidak akan utuh lagi.”
Mungkin itulah yang terbersit dalam pikiran seorang gadis bermanik cokelat bening itu. Apa yang tengah dia pikirkan, itulah yang akan dia lakukan. Mungkin dia berpikir bahwa keluarganya tak akan utuh lagi, dan seringkali dia pun merasa bahwa hidupnya tak lagi utuh.
Tentu saja semua orang memiliki masalah dalam hidup, jika gadis itu anggap masalah yang diterima saat ini adalah paling besar, percayalah! Setiap ujian yang datang kepada kita, saat itu juga tuhan memberikan kekuatan agar kita dapat menyelesaikan dan menjalaninnya.
Mungkin menjadi seorang anak yang broken home, bukanlah merupakan hal yang diinginkan oleh setiap anak di dalam suatu keluarga. Melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat di depan matanya setiap hari, melihat mereka saling berjalan berjauhan, atau bahkan sudah tak seperti dulu kehidupan mereka.
Namun gadis itu tidak ingin mendengar kata-kata terkutuk itu, cerai atau pisah, karena dari sanalah gadis itu benar-benar merasakan ketakutan luar biasa. Tentu menjadi anak broken home bukanlah yang ia inginkan dan tak sekali pun kata itu terlintas dalam benaknya.
Siapa yang senang dengan sebuah perceraian bagi kedua pasangan yang telah menikah namun memiliki konflik dalam keluarganya, terkadang adalah sebuah solusi yang banyak dipikirkan orang dewasa untuk mengakhiri permasalahan mereka.
Namun tak jarang secara tak sadar menganggap perceraian adalah hal yang terbaik, dan tak langsung menjadikan anak-anaknya sebagai korban ke egoisan mereka.
Lunashya mengusap wajahnya kasar saat kata-kata yang tak ingin di dengarnya dalam seumur hidup kini telah terucap oleh sang lelaki yang sudah dianggapnya sebagai pahlawan.
Gadis itu tampak menitikkan airmatanya untuk pertama kalinya setelah kejadian tiga tahun yang lalu—kejadian yang membuat semua hancur hingga ke titik terendah seperti saat ini, perceraian.
Kata perceraian tak hanya berdampak pada Lady sang ibunda, namun juga berdampak pada anak-anaknya. Tentu saja anak broken home—tiga kata namun berdampak menakutkan bagi sebagaian anak-anak yang memiliki keluarga yang akan dan telah berpisah.
Terkadang penyematan nama itu membuat hidup semuanya hancur lebur, hingga Lunashya menginginkan sekedar kata-kata untuk memotivasi, bertujuan supaya ia kuat dan tidak terjatuh dalam lubang keterpurukan.
“Nona, Ainsley.” sapa seorang lelaki paru bayah memecahkan lamunan gadis bermanik coklat itu.
Gadis itu tampak melamun dengan pandangan mata menatap hamparan kota Jakarta pada pagi buta. Luna tampak memejamkan matanya sebelum menoleh pada pengemudi mobil Audi silver miliknya.
“Hm,” gumam Luna singkat.
SAMUDRA ALASKA—nama pengemudi itu. Lelaki paru bayah yang sudah berumur kepala empat, yang selama lima tahun ini menjabat sebagai orang kepercayaan sekaligus asisten seorang gadis bermanik cokelat bening itu.
“Nona, bagaimana keadaan Ny. Lady? Saya merasa sangat sedih melihat kerutan samar yang menandakan bahwa Ny. Lady sedang mengalami stres berat.” terang Sam.
Luna menghapus jejak-jejak kerutan itu mengunakan ibu jarinya. Mendekat dan mengecup kening wanita paru bayah yang berada disampingnya cukup lama.
“Tenanglah, aku akan selalu bersamamu Mami dalam keadaan tersulit sekali pun.” kata-kata Luna banyak mengandung makna—salah satunya dia akan selalu berada di samping sang ibunda dalam keadaan apapun.
“Nona sudah sampai.” ujar Sam membuat Luna menjauhkan wajahnya dari wanita paru bayah itu.
“Kau duluanlah, bawa semua barang-barang ke dalam. Saya akan membangunkan Mami dulu,” perintahnya.