“Tangisan hanya mengacaukan segalanya, tapi senyuman membuat mereka yakin bahwa kamu tegar!”
Gadis bermanik cokelat terang itu menatap sebuah pintu menjulang di hadapannya dengan perasaan tak menentu. Dia ragu untuk menjulurkan tangannya menyentuh handle pintu, padahal itu adalah rumah miliknya namun kenapa rasanya seperti ingin masuk ke sebuah neraka.
Namun Alaina yang saat ini kebetulan ikut dengan gadis itu mencoba memberikan kekuatan dengan mengusap rambut pirang gadis itu seraya berkata dengan suara lembut.
“Okey, rillex. Ini rumah lo, yakin semuanya akan berjalan dengan sesuai keinginan lo.”
Gadis itu tampak menarik dan menghembus nafasnya perlahan-lahan. Dengan segenap keberanian yang dimilikinya, gadis itu pun menarik handle pintu tersebut.
Gadis itu menahan nafasnya saat melihat seluruh ruangan tampak sepi dan senyap, namun bukan membuatnya lega malah semakin tegang kala suara seorang gadis menyeru namanya.
“LUNASHYA!”
Mau tidak mau gadis itu melangkah masuk. Terus masuk hingga sampai di depan ruang perapian, dia menghela berat lalu melirik Alaina yang tampak tenang.
“Gue tunggu di ruang tamunya.” ujar Alaina cukup tau diri karena Luna dan seorang gadis di depannya butuh privasi.
Setelah Alaina pergi entah bagaimana ruang terasa dingin bagi Luna, padahal itu adalah ruangan perapian. Dia melangkah semakin mendekat ke sosok gadis yang saat ini terlihat memejamkan matanya.
“Duduklah.” perintah gadis itu tanpa membuka matanya.
Luna melirik sekilas mencoba membuat ekspresi yang menjadi tenang seperti biasa.
“Kenapa nggak bilang kalau lo disini?” lirihnya mencoba keras untuk tenang namun bodohnya air mata sudah mengenang dipelupuk matanya tinggal menunggu jatuhnya.
Sosok gadis yang berumur dua tahun diatas Luna tampak membuka matanya. Dia bangkit dan segera memeluk Luna dengan erat. Runtuh sudah air mata yang sejak tadi ditahan Luna, pelukan itu mampu membuat air mata Luna seketika tumpah ruah.
“Maapkan gue kak, maap...” lirih Luna dengan nada bergetar.
“Sttts...tenangkan dulu dirimu, Luna.” bisik gadis itu.
“Luna ng.. gak tau jika bakalan seperti i...ni. maap kak, maap, maap, maap.” raung Luna dengan mengucapkan kata maap berulang kali.
“Stts, kakak nggak pernah menyalahkanmu. Tenanglah dulu, jangan berbicara.” Gadis itu melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata Luna dengan ibu jarinya.
Menangkup dan mengecup kedua mata Luna dengan lembut, mengelus puncak kepala Luna dengan penuh kelembutan.
“Sudah tenang?” tanya gadis itu saat dirinya dan Luna sudah duduk berhadapan.
Luna masih terisak namun ia mengangguk. Dia mengatupkan bibirnya lalu mengalihkan pandangannya dari mata gadis itu. Menutup mukanya menggunakan kedua tangan seraya berujur dengan suara lirih.