“ Tak perlu terlalu cemas dan khawatir akan ketidakpastian di hari esok.Toh, selama ini kamu selalu berhasil melewati masa-masa tersulit dalam hidupmu 'kan?”
Saat kita merasa di titik terendah dalam kehidupan, yakinlah apa yang terjadi sekarang merupakan kenangan yang akan membuat kita tersenyum di masa depan nanti. Mungkin saat ini kita sedang terpuruk, misalnya kesulitannya menyelesaikan skripsi, beratnya mencari pekerjaan, atau susahnya bertemu dengan jodoh yang tepat.
Yakinlah bahwa setiap kesulitan memiliki tanggal kedaluarsanya sendiri, sehingga kita tidak perlu terlalu cemas untuk menghadapinya. Bukan kah setiap kesulitan pasti ada kemudahan?
Hitunglah berapa banyak kekhawatiran yang mesti kita lewati dalam kehidupan ini? Sebenarnya kita tak perlu terlalu khawatir akan sesuatu yang belum kita hadapi, karena toh dengan khawatir atau tidak, segalanya akan terlewati apapun hasilnya nanti.
Khawatir hanya pengejawantahan atau refleksi terhadap rasa ketidaktahuan dan bercampur takut akan menghadapi sesuatu yang sebelumnya belum pernah kita lewati.
So, jadikan khawatir hanya sebagai kerikil dalam perjalanan panjang menuju kesuksesan kita, kerikil itu tidak akan menjadi penghalang karena sewaktu-waktu kita dapat dengan mudah menyingkirkannya.
Pagi ini setelah rapat darurat yang diadakan Angkasa secara dadakan di ruang OSIS, Luna pun keluar dari ruangan dan melangkah dengan gaya angkuh menuju ke kelasnya. Namun di tengah perjalanannya langkah Luna terpaksa terhenti karena sebuah tangan yang menggenggam tangannya dengan erat.
Luna menarik dan menghembus nafasnya perlahan-lahan saat sebuah wangi parfume mint yang dipadu dengan kayu-kayuan menyerbuk di hidungnya, Aktiva—Luna yang seratus persen yakin bahwa yang menggenggam tangannya adalah Aktiva.
“Gue udah minta maap sesuai kesepakatan.” ujar Luna tanpa basa-basi.
“Gue tau.” Aktiva menjawab dengan nada yang terkesan marah.
“Bukan itu yang mau gue omongin.” sambungnya.
“So?”
“Lo itu selain sombong ternyata nggak tau dirinya!!” geram Aktiva membuat dahi Luna berkerut bingung.
“What!!”
“Whatt? Lo tanya apa, huh!” Aktiva melangkah maju membuat luna mundur hingga kini keadaannya menjadi menegangkan dengan Luna yang dikukup tubuh Aktiva di dinding.
“Lo kenapa sih!!” seru Luna tampak kesal.
“Gue udah bilang kan, kabari gue kalau lo udah sampe rumah. Chat gue juga kenapa nggak lo balas, hah!!” hardik Aktiva dengan nada sinisnya.
Ah—Luna ingat sekarang. Aktiva tengah menyinggung mengenai tindakan dirinya yang mengabaikan permintaan cowok tersebut, bahkan ia juga mengabaikan Chat line cowok itu.
“Emang lo siapa sih!!” sergah Luna kesal bukan main—seharusnya dia yang marah karena diturunina di halte dan seenaknya saja mendorong tubuhnya masuk ke dalam sebuah taxsi, namun kini kenapa malah cowok tersebut yang marah-marah tidak jelas dengannya.
Sedangkan untuk Aktiva sendiri dia merasa tercekat. Dia tak menyangka bahwa Luna akan menyergahnya dengan sebuah kalimat yang membuatnya mati kutu.
“Lo itu—”
“Heh! Seharusnya itu gue yang marah karena dengan seenaknya aja lo memperlakukan gue dengan buruk. Lo siapa, pacar gue? Mau juga lo jadi pacar gue. Stop please, gue nggak mau dengar ocehan lo hari ini karena gue lagi bad mood, dan dengar Aktiva, lo semalam udah buat kesalahan jadi siap-siap akan ada sebuah pembalasan dari gue.” papar Luna dengan nada tenang.
“Lo emang pacar gue kan!” tekan Aktiva tanpa sadar.
Luna mengangkat alisnya satu dan kemudian tersenyum manis, “Ah, udah anggap gue pacar ternyata. Thank's babe.”
Luna mengecup pipi kiri Aktiva baru kemudian mengibas surai pirangnya dengan gaya angkuh dan berjalan meninggalkan Aktiva yang tampak tercengang.
“Kenapa dia suka kali cium gue sembarangan sih.” gerutu Aktiva.
“Gue baru aja ngomong panjang, astaga.” keluh Luna.
****
Jam dua belas siang, matahari sudah tampak tak malu-malu bersinar dengan terik seolah sudah tidak ada keraguan untuk bersinar. Teriknya matahari membuat dua gadis dengan surai pirang berdecak sebal karena peluh keringat yang terus-menerus bercucuran keluar.