“Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tak jingga dan cinta tapi tak dianggap.”
Kadang kita lupa untuk berdamai dengan diri sendiri. Mencoba untuk introspeksi dan bercermin pada diri sendiri, lalu membiarkan hati bergumam menyimpulkan; mungkin, orang lain membenci bukan karena ia pembenci, melainkan diri ini memang layak untuk dibenci.
Malam ini senja senja selalu menggiring keceriaan menuju kegelapan. Mungkin hanya sebagian yang bersyukur yang mampu menyeka air mata untuk melihat bintang.
Sama seperti matahari, tidak pernah membenci senja, mengucapkan selamat tinggal ketika waktunya sudah habis, begitulah tere liye mengisyaratkan tentang senja.
Contohnya; Lunashya yang juga ikut menyaksikan senja dan menjadi saksi bisu tenggelam cahaya menjadi kegelapan gulita.
Seorang gadis tengah duduk di ayunan yang berada di depan rumahnya dengan seorang diri. Jam sudah menunjukkan pukul magrib, namun tak membuat gadis itu masuk ke dalam rumah. Dia lebih memilih duduk dengan mengotak-atik ponselnya, bertujuan untuk menghilangkan rasa bosan dan lelah.
Lunashya, gadis bersurai pirang itu tengah menyenderkan kepalanya di kusen ayunan, memejamkan kedua matanya. Namun beberapa detik kemudian ponselnya bergetar dipangkuannya, dengan ogah-ogahan dia mengambil dan mengecek ponselnya.
Sebuah pop up line membuat gadis itu bingung. Dia membuka pesan line dan membacanya dengan kening berkerut.
Aktivabn : Masuk, angin malam gk baik utk cewek cantik kyk kamu!
Kening gadis itu semakin berkerut dalam, apakah sekarang Aktiva menjadi peramal, cenayang, atau mata-mata? Dari mana pula cowok itu tahu bahwa dia diluar saat ini, dan memang kenyataan bahwa angin malam kali ini terlalu dingin menerpa tubuhnya yang hanya dibalut baju rajut berbahan tipis.
Lunashya Kensky : Kamu penguntitnya? Kok tau aku diluar?
Aktivabn : Emg salah nguntit pacar sendiri?
Lunashya Kensky : Kok tiba-tiba aku jadi seramnya.
Aktivabn : Kamu ngapain diluar?
Luna menatap horor sekitar rumahnya, mencari tanda atau sesuatu yang mencurigakan, mungkin.
Lunashya Kensky : Kamu dimana? Yaampun kok aku jd ngeri gini sih.
Aktivabn : Dihati kamu:)
Lunashya Kensky : Aku serius Tiv!
Aktivabn : Boleh kerumah?
Lunashya Kensky : Kamu disini? Kok gk lgsg masuk aja sihh!!
Sudah lima menit pesan Luna terkirim dan hanya ada notip telah dibaca, namun senyum gadis itu langsung sirna saat melihat Aktiva yang berdiri di dekatnya.
“Sini,” Luna melambaikan tangannya bertujuan menyuruh Aktiva untuk duduk di sampingnya.
Aktiva pun menurut. Dia membuka jaket kulit mahalnya lalu meletakkan dibahu gadis–nya, “Pake, dingin!”
“Kok kamu bisa disini?” tanya Luna terheran-heran.
“Abis main ke rumah Bumi.” jawab Aktiva santai.
“Ngapain?”
Aktiva mengacak rambut Luna lembut, membuat semburat merah langsung terjalar di kedua pipi gadis itu. Untung keadaan sudah malam jadi ada kemungkinan Aktiva tidak melihat semburat tersebut.
“Main.” Aktiva menatap Luna dengan lekat membuat gadis itu menjadi semakin salah tingkah.
“Kenapa liat aku gitu banget? Aku tau, aku cantik.” ujar Luna dengan percaya diri.
Aktiva menggeleng membuat Luna berdesis sinis tanpa mengeluarkan suasa. “Jangan cantik-cantik, nanti saingan aku semakin banyak.”
Jleb—Luna pun memalingkan mukanya. Wajahnya pasti sudah bersenu merah lagi, bahkan dia bisa merasakannya hingga ke telinga.
Dasar Aktiva mulut berbisa!
“Kamu sibuk nggak?”
“Nggak!” sahut Luna cepat.
“Aku mau ajak kamu keluar, kamu bi—”
“Aku bisa, bisa kok. Tunggu sebentar yaa aku ke dalam dulu siap-siap.” potong Luna cepat, kemudian melenggang masuk kerumah.
Aktiva tersenyum kecil melihat kelakuan Luna yang membuatnya semakin sayang kepadanya.
Luna masuk ke kamarnya berganti baju dan mengambil sling bag asal-asalan. Setelah siap dia pun bergegas ke dapur menghampiri Elara untuk meminta izin, bagaimana pun juga Elara sudah di anggap orangtua keduannya.
“Elara, saya izin keluar sebentarnya.”