“Semakin sering kamu memanipulasi diri, semakin sulit kamu menerima diri sendiri.”
Suasana club malam cukup ramai membuat sskitarnya terasa sesak dan pengap. Kinanti Arimbi mengekori gadis bersurai pirang yang membimbingnya masuk dengan hati-hati, kedua mata abu-abunya menatap nyalang sekitarnya. Lampu kerlap-kerlip terasa menutupi pandangannya, asap rokok dimana-mana dan bau alkohol membuat nafas dan penciumannya agak sesak.
Arimbi menelan ludahnya sendiri, dia merasa tak yakin untuk pergi ke tempat ini. Selama enam belas tahun baru sekali ini Arimbi memijak kaki di dunia malam, club. Dan berterima kasihlah kepada Luna yang telah berhasil membawa dirinya ke tempat terkutuk ini.
Arimbi nakal emang, bahkan dia gadis bar-bar-an. Namun dia sangat menggaris bawahi untuk tidak pernah main-main dengan dunia malam, berbeda dengan Luna yang sudah biasa dengan dunia malam.
Suara musik yang berdentum begitu keras nyaris memekakkan telinga Arimbi. Semua pengunjung terlihat begitu menikmati dan bergoyang di atas dance floor, namun Luna membawa gadis itu ke sebuah tempat sepi—bar yang biasa digunakan Queen bee.
“Lah Na, kesini juga.” sambut Chiara dengan muka terkejut.
“Hm.”
“Sama Aktiva?” tanya Bumi yang bergelut manja di pundak Nara.
“Sama Arimbi.”
“Hei, Kin!” sapa Dean membuat Arimbi tersenyum kaku.
“Kelihatan banget teman lo nggak pernah kesini tuh,” cetus Rasya.
“Iya Na, wah parah lo bawa anak orang yang polos lo.” celetuk Kent ikut-ikutan Rasya.
“Lagi ada masalah dia,” Luna menarik tangan Arimbi untuk duduk disalah satu bar yang sedikit berjauhan dengan teman-temannya.
Luna paham benar bahwa Arimbi tampak tidak suka di sini, namun mau bagaimana lagi disinilah tempat untuk melepaskan semuanya.
Arimbi sendiri tengah duduk di kursi bar paling pojok, merasa frustrasi sekaligus sakit hati dengan perselingkuhan Niel yang kebeberapa kalinya ini. Bahkan dirinya sampai nekat datang ke tempat yang tidak pernah disinggahinya ini, semua ini karena Niel dan Marseille.
“Mau minum alkohol atau nggak?” tanya Luna menoleh ke arah Arimbi.
“Alkohol aja deh.”
“Lo belum pernah nyentuh alkohol, Bi.” peringat Luna.
Arimbi menggeleng, “Gue butuh pelepasan hari ini.”
“Whatever!!” Luna mengangkat bahunya acuh tak acuh.
Percayalah ini gelas ke lima yang telah diminum Arimbi. Luna sudah melarangnya, namun gadis itu tetap keukuh dan terus-menerus memesan minuman sendiri kepada bertender disaat Luna tak peduli dengan permintaannya yang ingin lagi.
Arimbi tersenyum sinis saat merasakan kepalanya berdenyut, tapi yang jelas saat ini dia merasakan tubuhnya melayang jauh meninggalkan keresahan hatinya.
Arimbi mencoba memfokuskan pandanganya saat sebuah tangan menyentuhnya dan menggendong tubuhnya, refleks gadis itu melingkari tangannya dileher pria tersebut. Seorang pria dengan pakaian kasual tengah menatap tajam kepada Arimbi didalam gendongannya, astaga-astaga-astaga Arimbi sedang tidak bermimpikan dan penglihatan masih berfungsikan?
Namun bau parfum mint bercampur kayu-kayuan membuktikan bahwa Arimbi tak bermimpi, Niel sedang menggendongnya dan menatap tajam padanya.
“Nashya dia bukan kayak lo, kenapa lo bawa dia kesini, sialan!!” murka Niel pada Luna.
Luna tersenyum miring, “Emangnya yang buat Arimbi kayak gini siapa?”
“Lo—”
“Apa Niel? Kalau lo bosan atau gimana putusin, bukannya berulang kali selingkuh kayak gini.” tantang Luna dengan nada mencemooh.
Niel mengeram marah, “Amira bakalan marah sama lo kalau tau adiknya ke club.”
Luna memutar bola matanya jenggah, “Bawa kerumah gue aja. Lo berdua nginap, lagian rumah gue juga nggak ada siapa-siapa.” ujar Luna dengan menyebutkan alamat rumahnya kepada Niel.
Setelah itu dengan cepat Niel membawa tubuh Arimbi keluar dari club, meninggalkan Luna seorang diri. Luna tak ambil pusing, gadis itu berjalan menghampiri grup dance yang tengah menikmati party–nya.