“Seperti bersatu, namun terpisah. Seperti merindu namun tak bersama.”
Sepasang muda-mudi tengah menikmati makanan di sebuah warung penjual kaki lima, mereka Aktiva dan Luna. Di setiap Aktiva menyuap nasi uduknya, maka Luna akan memperhatikannya sambil tersenyum kecil. Begitu juga Aktiva yang akan tersenyum hangat saat melihat Luna yang menyuap sate kambingnya.
Aktiva dan Luna seakan tidak keberatan makan di tempat penjual kaki lima, padahal mereka orang yang berada bahkan sangat berada. Tidak apa-apa yang penting higenis—itu slogan mereka berdua.
“Pulang, tapi ke rumahku dulunya.” Aktiva berujar memecahkan keheningan di sela makan bersama mereka.
Luna mengangguk-angguk. “Beres!”
Sebuah motor sport meluncur di keramaian jalan raya dengan kecepatan sedang. Motor sport itu berjalan memasuki sebuah kompleks rumah elite, melewati rumah-rumah mewah dan megah. Hingga kini motor sport itu berhenti di sebuah rumah megah, bukan rumah lagi sebutannya ini melainkan Mansion.
“Ayo,” Aktiva mengulurkan tangan untuk menyambut tangan Luna.
Luna tertegun. Seketika merasa meremang, dia menghela nafas dalam-dalam lalu memberikan salah satu tangannya yang langsung disambut hangat oleh cowok itu.
“Ayo, masuk. Kenapa diam dipintu?”
Walaupun merasa kikuk, Luna masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu yang bernuansa ungu muda.
“Kok sunyi rumah kamu?” tanya Luna setelah meneliti isi mansion cowok tersebut.
“Kan udah aku bilang tadi, orangtuaku sibuk.”
“Sekarang mereka dimana?”
“Amerika.” Luna berio ria, kemudian melangkah menjajah kakinya ke sebuah figura.
“Nggak ada pembantu disininya?” tanya Luna masih dengan menatap satu demi satu figura.
“Aku nggak suka ada pembantu.”
“Why?” Luna menoleh cepat.
“Jika nggak suka, lalu bagaimana selama ini kamu membersihkan rumah yang lebih baik dikatakan mansion ini.” sambungnya.
Aktiva mengedik bahunya acuh, “Ada orang suruh nyokap seminggu sekali datang untuk membersihkan rumah ini.”
“Makan?”
“Banyak tempat makan.”
“Selama ini kamu selalu makan diluar?”
Aktiva menggeleng, “Nggak juga. Kalo lagi mood aku masak sendiri.”
“Percaya sih, soalnya masakan kamu enak.” Luna kembali mengamati figura dihadapkannya.
Tiba-tiba pandangan gadis itu tertumbuk ke arah foto seorang remaja yang terpajang di salah satu lemari hias. Luna meneguk ludahnya dengan bersusah payah, dia termangu sesaat, seakan tak percaya dengan penglihatannya.
“I—ini siapa?”
“Maap.” Aktiva melaju mendekat untuk mengambil potret pigura tersebut.
“Hah?”
“Aku lupa menyimpannya di gudang.” sesal Aktiva.
“Kenapa harus disimpan?” tanya Luna dengan suara tercekat.
“Karena nggak seharusnya aku menyimpan ini lagi.”
“Why?” tanya Luna semakin termenung.
“Dia.”
“Siapa?”
“Tsamra.”
***
“Thank's udah antar aku pulang, Tiv.” kata Luna ketika mereka berdua sampai di depan gerbang rumah gadis itu.
“Kan udah kewajiban aku, Na.” sahut Aktiva dengan meneliti rumah Luna.