“Euphoria yang tak terlupakan dialami saat aku mulai jatuh cinta.”
Segala hal bisa berubah, sesuai dengan ketentuan masing-masing. Perubahan adalah sebuah keadaan atau situasi dimana kita mempunyai pilihan untuk tujuan tertentu dan memberikan kesempatan untuk kita melakukan hal yang belum pernah di pikirkan sebelumnya.
Namun bagaimana jika perubahan itu tentang sebuah perasaan? Contohnya dalam hal kehidupan. Hidup tentu saja tak luput dari perjuangan dan pengorbanan, apapun yang saat ini kita lakukan atau sedang di usahakan, sudah termasuk di dalam makna perjuangan untuk perubahan.
Kali ini tentang perubahan sebuah perasaan yang terjadi kepada seorang gadis jelita bersurau pirang dengan iris mata cokelat terang. Membuat status yang ia miliki menjadi boomerang untuk perasaannya, yang awalnya hanya untuk kesenangan batin kini telah berubah menjadi sebuah perasaan yang tidak seharusnya hadir.
Gadis itu, Lunashya.
Dia bersandar di tembok depan kelasnya bersama kedua sahabatnya yang kebetulan satu kelas bersamanya. Dengan bermodal menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya, berpura-pura bersifat acuh meski kini hatinya gunduh gulali.
Alaina—gadis yang kini tengah bersedap dada menatap gadis bersurai pirang itu dengan tatapan jengah, sudah lebih setengah jam mereka menghabiskan waktu di depan kelas namun tidak sepatah kata pun keluar dari mulut gadis itu.
Padahal Alaina tahu banyak kata yang ingin gadis itu utarakan, namun seakan ada halangan besar untuk memilih lebih memendam daripada mengungkapkan.
“Hidup lo kembali monoton, Na.” nyatanya ujaran Alaina kini mampu mengalihkan perhatian gadis itu, namun hanya sesaat setelah gadis itu menghela berat. Dia kembali berkutut ke arah ponselnya.
“Cerita atau bilang!”
“Sama aja!” Luna mengendus sebal.
“Bedalah.” Elnara membantah dengan cepat. “Cerita itu datang dari diri lo sendiri, memang dasarnya lo butuh teman untuk mengaduh. Tapi kalo bilang itu paksaan karena kita-kita yang mau lo jujur.”
Luna menarik dan menghembus napasnya secara perlahan, kemudian menatap lapangan utama di bawah lantai satu melalui pembatas pinggiran.
“Percaya nggak kalo Aktiva menyimpan sesuatu hal yang besar?”
“Hal yang besar?”
“Contohnya?”
“Ntahlah.” Luna mengangkat bahunya acuh.
“Somplak!” umpat Elnara kesal.
“Ada apa sebenarnya, Na? Kalo lo diam-diam gini, sampai lebaran monyet ada pun kami nggak tau apa masalah lo,” ucap Alaina dengan tatapan melunak.
“Nyokap sama Amara nyuruh gue buat jauhi Aktiva.” Luna menatap Alaina dan Elnara secara bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Gue nggak tau apa itu, hanya saja mereka nggak suka sama Aktiva.”
“Menurut gue sih lebih baik turuti kata orang tua.” Elnara berpendapat.
“Tapi, beda urusannya kalo lo udah menjatuhkan diri lo ke lubang yang lo buat sendiri.” Alaina menepuk bahu Luna pelan,“gue tau lo ngerti maksud omongan gue.”
***
Lunashya merenggangkan seluruh persendiannya yang terasa pegal, akhirnya photoshoot dirinya selesai setelah kurang lebih tiga jam berpose dengan segala perintah yang terpaksa harus gadis itu turuti.
Luna berjalan ke salah satu bangku yang memang sengaja disediakan untuknya, sembari melirik ke arah Aktiva yang tampak sibuk memainkan ponselnya. Dia menghela nafas berat saat sebuah perasaan menghantamnya, bagaimana jika yang dia pikirkan benar, bagaimana jika semua itu adalah kenyataannya.
Luna menghempaskan tubuhnya di bangku tersebut membuat Aktiva langsung menoleh dengan senyum hangatnya. Stop, jangan bikin dia tambah jatuh ke dalam lagi.
“Udah selesai?” Aktiva mengelus rambut pirang gadis itu dengan lembut.
“Udah.”
“Masih ada majalah lagi?”
“Nggak ada.”
“Pulang?”
“Makan dulunya, aku lapar.” aku Luna dengan muka bersemu merah.
“Yaudah, ayo.”