La Douleur Exquise

Afiska Dila Ananda
Chapter #43

Chapter 43|Beku.

“Mungkin lebih baik begini, aku takut merusak suasana jika harus mengatakan apa yang aku rasakan.”

Gadis itu duduk dipinggir balkon, menatap langit yang sudah menggelap. Setetes bening air mata luruh dari sudut matanya, dia menangis dalam diam. Dia merasa seperti ditarik paksa menuju dasar kesadaran, sebuah luka yang menyambutnya. 

Sementara itu jauh dari tempat dimana gadis itu menangis, seorang lelaki tengah menatap gelapnya malam disebuah taman kota, seorang diri. Sama seperti si gadis, tetes air mata terjatuh mengalir di pipi si lelaki. Dia menyerah kepada takdir dan mengikuti apapun itu yang sudah digariskan kepadanya.

Bukti dari keputusan asaan kelak itu adalah dia menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi lalu tubuhnya meluruh dengan kepala yang dia benamkan di antara dua lututnya. 

Sejauh dan sebesar apapun kita menyesali. Jarum jam tidak akan pernah berputar ke kiri, maka bangkit dan bertahanlah seakan-akan besok kita mati. 

Kembali ke si gadis. 

Gadis itu duduk di balkon kamar dengan mata menatap lurus ke arah langit yang malam, air matanya telah kering dan tampak membekas di kedua pipi tirusnya. Angin malam yang semilir berusaha membuat gadis itu sadar bahwa yang terjadi barusan adalah kebenaran. 

Beku. Kata itulah yang mewakili seluruh perasaan yang ada di hidupnya seakan sudah berubah menjadi hambar, tak terasa apapun. 

Lunasyha Ainsley Kensky. Seorang gadis yang sejak dua jam lalu berubah menjadi dingin lagi. Beku, tak tersentuh, dan sangat dingin hingga mencapai minus 10 derajat. Sorot teduh dan tenang seakan lenyap dari dirinya digantikan poker face, hanya kepada sahabatnyalah ia berbaik hati untuk tidak terlalu beku. Jikapun kepada sahabatnya dia beku maka dingin gadis bisa mencapai minus 0 derajat. 

Ekspresinya tidak ada, sorot matanya dingin, dan bibirnya berkatup rapat hingga sampai untuk menarik sudut bibir pun ia enggan. Gadis itu sudah seperti mayat hidup, hanya yang membedakan gadis itu masih bisa berkedip dan bergerak. 

Bahkan kini reaksinya saat seorang gadis memeluk erat tubuhnya dari belakang ia tetap terdiam mematung. Elnara Kadziyah. Sahabat terdekat gadis itu sesudah Alaina. Elnara sangat tidak suka bahkan membenci perubahan yang ada di diri sahabatnya ini.

Luna yang biasanya hanya diam dan ikut berpendapat jika dia merasa tidak sesuai, atau menarik sudut bibirnya saat melihat pertengkaran kecil antara Dean dan Chiara, atau lagi dia akan mengeluarkan mulut pedasnya jika ada yang berani menjelek-jelekan Queen bee dan menyerang salah satu sahabatnya. 

Bukan Luna yang seperti sekarang. Gadis itu menjadi semakin tidak terkontrol, tidak ada tatapan teduh dan tenang. Tidak ada si mulut pedas, tidak ada senyuman kecil dari bibir pinknya. Tidak ada kekehan pelan, tidak ada ucapan pun yang sekedar untuk membuat Chiara lega.

Chiara paham, bahan sangat paham bagaimana rasa sakit yang dialami sahabatnya ini. Gadis ini lebih memilih terdiam, karena terkadang apa yang tidak bisa gadis itu bicarakan, dia juga harus melewatinya dengan diam. 

“Na, masuk ayo. Makan dulu, dari pagi tubuh lo belum terisi nutrisi. Nanti lo sakit, makannya jangan bikin kita-kita khawatir.” hening. 

Chiara tak sanggup, dia pun meneteskan air matanya untuk kesekian kalinya saat melihat Luna seakan-akan sudah kehilangan kosakata dan memilih seperti mayat hidup.

Gadis itu berubah menjadi patung yang tidak berperasaan, mengabaikan segala bujukan dan ajakan dari keluarga dan sahabatnya. 

“Dewasalah.” ucap Alaina tajam dengan nada yang sedikit menyiratkan kemarahan. “Jadilah manusia yang tahu kapan harus meledakkan emosi dan kapan harus memendam amarah.”

Chiara melepaskan pelukan dari Luna, kemudian berlalu ke tempat dimana Queen bee berada. Gadis itu menolehkan kepalanya, menatap Alaina dengan pandangan sendu. 

“Luna,”

Gadis itu tidak berubah dari posisinya semula, tetap diam walaupun seluruh indranya seakan mata rasa. Dia memejamkan matanya, hingga sebuah pelukan dari beberapa gadis membuatnya bergetar hebat. 

Lihat selengkapnya