“Seberapa dewasa pun kita, ketika patah hati semua juga butuh pundak untuk berbagi.”
Mobil sport berwarna merah milik seorang gadis bersurai pirang baru saja terpakir rapi di halaman rumah besar bercat dominan cream itu. Gadis itu baru saja pulang setelah waktu menunjukkan petang, ia dan sahabatnya Queen bee baru selesai hanghout di sebuah taman bunga yang berada di Ibukota kota.
Gadis itu, Lunashya.
Luna keluar dari mobil sport–nya dan segera masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan apapun. Namun sebuah suara lembut mengalun indah ditelinga gadis itu, membuat mau tidak mau gadis itu berhenti sesaat.
“Nashya, dari mana saja kamu? Kenapa pulang larut, jam sekolah kamu sampai malamnya?”
Hening.
“Nashya, aku bicara padamu.”
“Nongkrong.”
“Oh, okey.” Tsamara menghela nafas berat, “Kamu bisa nanti ke sini setelah membersihkan tubuhmu?”
“Hm.”
Di dalam kamar, gadis bersurai pirang itu bergetar saat tadi tanpa sengaja melihat sepasang insan tengah memabuk kasih. Dia menghembuskan nafas pelan, melepaskan apapun yang melekat didirinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Luna keluar dengan rambut yang digerai. Dia mengenakan kaus berwarna putih dengan rok lee diatas lutut.
“Sini, sini Nashya.” Amara melambaikan tangannya disaat Luna tengah berjalan turun.
Hening lagi.
Amira yang kebetulan juga berada di ruang keluarga, menghembuskan nafas. Dia meneliti adik bungsunya itu, gadis itu masih terlihat cantik hanya saja kulitnya semakin pucat. Sorot mata cokelat terangnya redup, Adik bungsunya hilang.
“Aku mau minta pendapat sama kalian,” Amara membuka beberapa lembaran seperti undangan dan diletakkan diatas meja.
“Menurut kalian cantik yang mana? Kami bingung mau pilih yang mana, semua undangannya cantik-cantik soalnya.” jelas Amara dengan mengebu-ngebu.
Amira menggertakkan giginya, “Harus banget kami pilih, bukannya yang mau nikah lo pada. Kenapa harus kami yang bersusah payah memilihnya, enyah kan semua itu gue nggak peduli.”
Amira menahan emosinya, sungguh kembarannya ini tidak punya hati. Dia tahu bagaimana perasaan Luna saat ini, hancur lebur. Dan bagaimana bisa kembarannya ini tega menyuruh Luna memilih undangan untuk pernikahan mereka, astaga dia bahkan tidak bisa membayangkan isi hati Luna.
“Kenapa jadi kamu yang sewot, sih?! Kan aku cuma mau minta pendapat, jadi nggak perlu sewot gitu.” Amara cemberut.
“Mar, apa yang dikatakan Amira itu benar. Nggak seharusnya kamu minta pendapat mereka, kan yang mau menikah kita.” Aktiva tersenyum.
Amara mengerutkan bibirnya, “Yaudah kalo Amira nggak mau ikutan pilih. Tapi kan masih ada Nashya, menurut kamu—”