DIGDAYA

Wulan Kashi
Chapter #2

2. Love at First Hit

Semester I, Surabaya, 2003.

Sudah jam dua siang. Ini waktu rawan: jam lapar, jam ngantuk, dan jam otak bengkak dihantam materi-materi kuliah yang berjejalan memaksa masuk beruntun. Apalagi di jam terakhir tadi mata kuliah anatomi. Sudahlah. Pulang saja. Tapi bagi Tiara, ini justru jam-jam suci untuk cuci mata ke kantin.

“Sejak kapan kantin untuk cuci mata?” komentar Ratna datar pada Tiara, yang lalu dibalas lirikan maut. 

“Payah,” desisnya kesal. 

Jangan dikira mereka sedang bertengkar. Tiara dan Ratna interaksinya memang se"mesra" itu. Toh setelah begitu, biasanya lalu mereka tertawa bersama. Salah, Tiara bukan tertawa, tapi terbahak. Tapi tawa Tiara itu candu bagi yang mendengar, karena terdengar renyah, tulus, dan merdeka. Tidak seperti Ratna yang tawanya lebih kalem dan tertata. 

Ratna memilih pulang sendiri. Kantin termasuk area yang harus sering dicoret dalam kamusnya. Dia harus berhemat, karena harga makanan kantin di sini kurang bersahabat dengan kantongnya. Dia memilih masak sendiri di tempat kos. 

Nggak mungkin juga kan, ikut ke kantin hanya untuk ikut duduk-duduk saja. Itu mengurangi kuota tempat duduk, bagi mereka yang sungguh-sungguh akan memanfaatkan kantin untuk makan atau minum, Belum lagi, bisa mengurangi rejeki para penjual di kantin karena yang akan membeli makanan atau minuman tidak bisa melaksanakan keinginan mereka karena terhalang kuota tempat duduk yang penuh. 

Ratna sedang asyik membayangkan hendak belanja apa, dan menu apa yang akan ia masak setelah ini, saat ia dengar beberapa suara laki-laki yang setengah berteriak memanggil namanya. 

Belum sempat menoleh sempurna, saat bola basket menghantam bahunya dengan tidak mesra. Ratna terkejut, tapi masih cukup bisa menguasai diri sehingga Sobotta yang ia bawa tidak sampai jatuh. Sobotta itu atlas anatomi manusia, semacam salah satu kitab wajib mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi. Bukunya berat, seberat isinya yang memberatkan kepala. 

Pandangannya beredar ke arah lapangan basket di samping jalan yang ia lalui. Ada empat orang teman seangkatan yang sepertinya sedang melakukan 'pendinginan' otak dengan bermain basket. 

Bukannya ini terik ya? Bisa-bisanya mereka main basket di jam seperti ini, dengan baju sopan setelah kuliah anatomi pula. Sungguh aneh-aneh temannya satu angkatan ini. Lihatlah, muka mereka sampai ada yang semerah matahari senja karena tersengat panas terik matahari. Sepatunya, juga bukan sepatu basket, melainkan sepatu untuk kuliah. Apa nggak sayang kalau rusak? Ah tapi mungkin buat mereka ganti sepatu tiap minggu pun bukan masalah. 

Mereka spontan kompak menundukkan badan dengan dua tangan mengatup di depan dada. Kok bisa sekompak itu cara minta maafnya? Apa sudah sering mereka main dan bola mereka nyasar begini? Sehingga model permintaan maaf mereka seperti sudah ada template-nya. Jadi otomatis tiap ada korban, mereka tinggal memakai template ini untuk menyatakan permintaan maaf? 

Ratna tertawa lebar. Ditaruhnya Sobotta di bangku samping jalan, lalu mengambil bola basket tadi. Kemudian berjalan anggun, masuk ke lapangan dan melakukan tembakan dengan santai. Dan three point. Membuat empat orang itu melongo. Lalu mereka bertepuk tangan, kecuali satu orang.

Lihat selengkapnya