DIGDAYA

Wulan Kashi
Chapter #3

3. tentang Sebuah Senja Yang Menjadi Awal Cerita

Kamis sore yang penat. Langit kelabu menggantung rendah saat Ratna melangkah keluar indekosnya, menuju warung Mak Ni—tempat yang setia menyediakan sayur mayur, tempat penduduk sekitar dan mahasiswa belanja keperluan memasak. 

Biasanya, paling sore jam 4 dia sudah bisa belanja. Khusus hari ini, ada dosen yang mendadak mundur jadwal kuliahnya. Jam 16.30 baru selesai. Setelah pulang dan menaruh tumpukan buku dan ransel yang beratnya seberat beban hidup itu, baru Ratna bergegas keluar kembali, ke Warung Mak Ni. 

Pasar itu jauh, ramai, dan menyedot ongkos dan waktu. Warung Mak Ni—hanya empat ratus meter dari kosan—adalah kombinasi sempurna antara penghematan dan kenyamanan. Sangat sesuai untuk Ratna yang sangat memperhitungkan aneka biaya.

Jalan kaki sekitar 400 meteran itu lumayan, untuk membakar kalori, sekaligus supaya badannya tidak mengembang dengan cepat setelah berhenti main basket.

Saat SMA dia masih bisa membagi waktu antara basket dengan sekolah.  Sekarang, dia harus pintar membuat skala prioritas, dan melaksanakan komitmennya dengan konsisten.  Ingat, dia bukan mahasiswa dengan privillege lebih di bidang keuangan. Dia hanya mengandalkan keluarga Bapak Rumpoko untuk setiap bulannya.

Cahaya kuning keemasan menyusup masuk melalui celah-celah atap warung Mak Ni, mengguratkan bayangan panjang di atas kotak sayur yang mulai kosong. Mata Ratna menyusuri kotak demi kotak, matanya berhenti pada ikatan sawi yang mulai layu di pojok keranjang. Ia meraih seikat kecil yang cukup baik untuk tumis malam nanti, saat punggung tangannya bersentuhan dengan tangan lain.

Gerakan mereka serentak membeku. Tak ada kata-kata, hanya mata yang saling membaca: kejutan, ragu, dan sesuatu yang tak terucapkan.

Andi Diratama? Cowok itu belanja sayur? Ratna tertegun. Kawasan indekos di daerah sini di dominasi mahasiswa FK, FKG, dan FKM, yang nota bene jarang ada yang mau menyempatkan diri memasak demi efisiensi waktu belajar. Kebanyakan yang belanja di sini ya para ibu kos, dan warga-warga asli saja. Kalau mahasiswa tentu jarang. 

Andi terlihat kikuk, lalu tersenyum kaku. Meski begitu, tetap nampak ganteng.

"Ngapain, Ndi?" Astaga, mata elang Andi mendistraksi pikiran Ratna tentang cara basa-basi tanpa basi.

Lihat selengkapnya