Mereka berada di hotel favorit mereka, di tengahtengah pegunungan berkabut. David tersenyum, menunduk menatapnya. “Apa jawabanmu, cantik? Mau menikah denganku?”
Susan Fletcher mendongak dari tempat tidur mereka yang berkanopi. Dia tahu, David-lah jodohnya. Selamanya. Saat Susan menatap mata hijau David yang teduh, bel yang memekakkan telinga mulai berdering di kejauhan. David mulai menjauh. Susan mengulurkan tangan hendak memeluk David, tapi hanya mengenai udara kosong.
Rupanya, suara teleponlah yang membangunkan Susan Fletcher dari mimpi. Dia tersentak bangun, duduk di tempat tidurnya, dan meraba-raba mencari gagang telepon.
“Halo?”
“Susan, ini David. Aku membangunkanmu?”
Susan tersenyum, berguling di tempat tidurnya. “Aku baru saja memimpikanmu. Kemari dan bermain-mainlah.”
David tertawa. “Masih gelap.”
“Mmm,” rajuk Susan. “Kalau begitu, kau harus benarbenar kemari dulu sebelum kita pergi ke utara.”
David mendesah frustrasi. “Karena itulah aku menelepon. Aku harus membatalkan perjalanan kita.”
Susan mendadak terbangun sepenuhnya. “Apa!”
“Maafkan aku. Aku harus keluar kota. Aku akan kembali besok. Kita bisa pergi besok pagi-pagi sekali. Kita masih punya waktu dua hari.”
“Tapi aku sudah memesan kamar,” kata Susan kecewa. “Aku memesan kamar lama kita di Stone Manor.”
“Aku tahu, tapi—”