Digital Fortress

Mizan Publishing
Chapter #3

Sedan Volvo Susan

Sedan Volvo Susan berhenti di depan pagar kawat berduri setinggi tiga setengah meter. Seorang penjaga muda menaruh satu tangannya di atap mobil Susan, membungkuk di jendela, dan berkata, “Kartu identitas?”

Susan menurut. Seperti biasa, dia menunggu selama setengah menit. Si petugas memasukkan kartu Susan ke dalam mesin pemindai. Akhirnya petugas itu mendongak.

“Terima kasih, Miss Fletcher.” Si petugas melakukan gestur tak terlihat, dan gerbang pun terbuka.

Selama setengah kilometer berikutnya, Susan mengulang kembali prosedur itu di depan pagar listrik yang serupa. Ayolah, sobat … aku sudah ke sini jutaan kali.

Begitu dia dekat dengan tempat pemeriksaan terakhir, seorang penjaga pendek gemuk, berjaga bersama dua anjing penyerang dan membawa sebuah senjata mesin, menunduk melihat pelat nomor mobil Susan, lalu mempersilakan Susan masuk. Susan menyusuri Canine Road hingga 230 meter lagi dan memasuki Lahan Parkir Karyawan C. Sulit dipercaya, pikirnya. Dua puluh enam ribu karyawan dan anggaran sebesar dua belas miliar dolar; kau pasti mengira mereka bisa menyelesaikan semuanya di akhir pekan tanpa bantuanku. Dia memarkir mobilnya di tempat yang sudah disediakan, kemudian mematikan mesin.

Setelah menyeberangi taman dan memasuki gedung utama, Susan melewati dua pemeriksaan internal lagi, dan akhirnya tiba di koridor tak berjendela, yang mengarah ke sayap bangunan baru. Sebuah stan pemindaisuara menghalangi jalannya.

NATIONAL SECURITY AGENCY (NSA) FASILITAS KRIPTO HANYA UNTUK STAF YANG SUDAH TEROTORISASI

Seorang penjaga bersenjata mendongak. “Sore, Miss Fletcher.”

Susan tersenyum lelah. “Hai, John.”

“Tak menyangka Anda akan datang hari ini.”

“Yeah, aku juga.” Susan mencondongkan tubuh ke arah mikrofon berbentuk parabola. “Susan Fletcher,” ucapnya jelas. Komputer langsung mengonfirmasi frekuensi suaranya, dan gerbang pun terbuka. Dia melangkah masuk.

Si penjaga mengagumi Susan saat wanita itu menuruni jalan bersemen. Mata hazel Susan yang tajam tampak menerawang, tetapi kedua pipinya bersemu segar dan rambut pirang sebahunya tampak baru saja dikeringkan. Susan meninggalkan aroma samar bedak bayi. Mata penjaga lalu terarah pada tubuh langsing Susan—pada blus putih Susan, pada rok khaki selututnya, dan akhirnya pada kakinya … kaki Susan Fletcher.

Sulit dipercaya, kaki itu milik wanita ber-IQ 170, pikir si penjaga.

Dia memandang wanita itu lama. Akhirnya, dia menggeleng begitu Susan Fletcher menghilang di kejauhan.

Susan tiba di ujung koridor. Sebuah pintu bundar mirip kubah menghalangi langkahnya. Huruf-huruf besar di sana berbunyi: RUANG KRIPTO.

Dia mendesah, meletakkan satu tangan ke dalam kotak sandi yang membenam di pintu, lalu memasukkan PIN lima digit. Beberapa detik kemudian, lempengan baja seberat dua belas ton tersebut mulai berputar.

Susan berusaha fokus, tetapi pikirannya melayang kembali kepada David Becker. Satu-satunya lelaki yang dia cintai. Profesor termuda di Universitas Georgetown dan pakar bahasa asing yang brilian. David Becker bisa dibilang selebriti dunia akademis. Lahir dengan daya ingat luar biasa dan kecintaan terhadap bahasa, dia menguasai enam dialek Asia, juga bahasa Spanyol, Prancis, dan Italia. Mata kuliah etimologi dan linguistik di universitasnya selalu penuh dan dia selalu tinggal lebih lama untuk menjawab berondongan pertanyaan. Dia berbicara penuh wibawa dan antusias, tak menyadari tatapan memuja para mahasiswi yang mengidolakannya.

Becker berkulit gelap—pria gagah berusia 35 tahun dan berjiwa muda, dengan mata hijau tajam serta kecerdasan luar biasa. Rahang kuat dan wajah tajamnya mengingatkan Susan pada pahatan porselen. Dengan tinggi lebih dari 182 sentimeter, Becker mampu melintasi lapangan squash lebih cepat daripada para koleganya. Setelah mengalahkan lawannya dengan gigih, dia akan menyejukkan diri, merundukkan kepala di bawah keran air minum, dan membasahi rambut hitam tebalnya. Kemudian, dengan rambut masih basah kuyup, dia akan mentraktir lawannya jus dan roti bagel.

Seperti profesor-profesor muda lain, gaji David tidak besar. Jika dia ingin memperpanjang keanggotaan klub squash atau memperbarui Dunlop tua bobroknya, dia akan mencari tambahan uang, dengan menerjemahkan dokumen untuk agen pemerintah di wilayah Washington. Pada salah satu kesempatan itulah, dia bertemu Susan.

Suatu pagi yang segar di liburan musim gugur, sehabis berlari pagi, Becker kembali ke apartemen tiga kamar di fakultasnya dan mendapati mesin penjawab teleponnya berkedip. Dia mendengarkan rekaman mesin itu sembari menuang seliter jus jeruk. Dia biasa menerima pesan seperti itu—agensi pemerintah yang membutuhkan jasanya selama beberapa jam. Satu-satunya yang aneh, Becker tidak pernah mendengar nama organisasi yang ini.

“Namanya National Security Agency,” kata Becker, menelepon beberapa koleganya untuk mencari informasi.

Tanggapan mereka selalu sama. “Maksudmu, National Security Council?”

Becker mengecek pesan tersebut. “Bukan. Mereka bilang Agency. NSA.”

“Nggak pernah dengar.”

Becker mengecek direktori GAO1. Ternyata, NSA tidak terdaftar juga di sana. Bingung, Becker menelepon salah seorang teman lamanya di klub squash, mantan analis politik yang kini menjadi pegawai riset di Perpustakaan Kongres. David terkejut mendengar penjelasannya.

Sepertinya, NSA bukan hanya benar-benar ada, melainkan juga dianggap sebagai salah satu organisasi pemerintahan paling berpengaruh di dunia. Organisasi itu telah mengumpulkan data penyidikan elektronik dari seluruh dunia, serta melindungi informasi rahasia Amerika Serikat selama lebih dari setengah abad. Hanya tiga persen orang Amerika yang menyadari keberadaannya.

“NSA,” gurau teman Becker, “kepanjangannya adalah ‘No Such Agency’—‘Tak Ada Agensi Seperti Itu’.”

Merasa cemas sekaligus penasaran, Becker menerima tawaran agensi misterius tersebut. Dia menyetir sejauh enam puluh kilometer menuju markas mereka yang luasnya 350 ribu meter persegi. Markas itu tersembunyi di perbukitan rimba di Fort Meade, Maryland. Becker melewati pemeriksaan keamanan yang tak ada habisnya.

1. Direktori GAO adalah direktori lembaga Government Accountability Office yang berisi daftar nama-nama organisasi pemerintah AS dan alamatnya.

Dia kemudian diberi kartu hologram untuk pengunjung, yang hanya berlaku selama enam jam, dan diantar ke sebuah ruang riset mewah. Sepanjang sore, Becker diminta memberikan “dukungan buta” kepada Divisi Kriptografi— kelompok genius matematika yang dikenal sebagai pembongkar-kode.

Para kriptografer itu bahkan tampak tidak menyadari keberadaan Becker selama satu jam pertama. Mereka mengelilingi meja raksasa dan berbicara dalam bahasa yang tak pernah Becker dengar. Mereka membicarakan stream cipher (sandi aliran), self-decimated generators, varian knapsack, protokol zero knowledge, poin unicity. Becker mengamati dengan bingung. Mereka menulis simbol-simbol di kertas grafis, membaca cetakan-cetakan komputer, dan berulang-ulang menunjuk teks amburadul di proyektor.

Akhirnya, salah seorang dari mereka menjelaskan apa yang sudah diperkirakan Becker. Teks kacau itu merupakan kode—ciphertext—kumpulan angka dan huruf yang mewakili kata-kata yang telah dienkripsi. Pekerjaan kriptografer adalah mempelajari kode, lalu mengekstraksi pesan asli atau cleartext dari kode tersebut. NSA memanggil Becker karena mereka menduga pesan asli kode tersebut ditulis dalam bahasa Mandarin. Becker diminta menerjemahkan simbol-simbol tersebut setelah para kriptografer membongkar kodenya.

Selama dua jam, Becker menerjemahkan simbolsimbol Mandarin yang tak ada habisnya. Namun, setiap kali dia memberikan hasilnya, para kriptografer selalu menggeleng putus asa. Tampaknya, arti kode itu tak masuk akal. Becker berusaha membantu, berkata bahwa semua karakter yang mereka tunjukkan mempunyai benang merah—karakter-karakter tersebut juga bagian dari bahasa Kanji. Ruangan langsung sunyi. Sang penanggung jawab, seorang perokok jangkung bernama Morante, menoleh tak percaya kepada Becker.

“Maksudmu, simbol-simbol ini punya arti ganda?”

Becker mengangguk. Dia menjelaskan bahwa Kanji adalah sistem penulisan bahasa Jepang yang didasarkan pada modifikasi huruf-huruf Cina. Dia tadi menerjemahkannya dalam bahasa Mandarin karena memang itulah yang mereka minta.

“Ya Tuhan.” Morante terbatuk. “Mari kita coba yang Kanji.”

Seperti sihir, semuanya pun cocok.

Para kriptografer terkesan. Namun, mereka memberikan karakter-karakter Kanji itu kepada Becker secara acak. “Ini untuk keselamatanmu sendiri,” kata Morante. “Dengan begini, kau tidak akan tahu apa yang sedang kau terjemahkan.”

Becker tertawa. Lalu terdiam saat dia sadar bahwa tak seorang pun tertawa bersamanya.

Ketika kode itu akhirnya terbongkar, Becker sama sekali tidak tahu rahasia hitam macam apa yang dia bantu pecahkan. Namun, satu hal yang pasti—NSA menganggap serius usaha pembongkaran kode itu. Cek yang diterima Becker jumlahnya lebih dari gaji sebulan di universitas.

Saat berjalan melewati rangkaian pemeriksaan keamanan ke arah keluar, Becker dihalangi seorang penjaga yang sedang menggunakan telepon. “Mr. Becker, tunggu di sini, tolong.”

“Ada masalah apa?” Becker tidak mengira proses penerjemahan kode itu berjalan selama ini, dan dia terlambat untuk pertandingan squash Sabtu sore.

Lihat selengkapnya