Digital Nation Movement

Bentang Pustaka
Chapter #2

Bagian 1: Bibit Perubahan itu Bernama DINAMO

Saya belum pernah menemukan cara supaya bisa menggerakkan begitu banyak orang hanya dengan mengetikkan beberapa kalimat di layar ponsel. Saya juga belum pernah menyebar undangan atau menelepon teman-teman dan mendapat respons yang begitu besar. Sejak perubahan politik 1998, rasanya baru kali ini saya melihat langsung reaksi orang muda yang begitu luas dan cepat untuk mendorong perubahan sosial.

Iya. 1.200 orang telah mendaftar dalam acara Dinamo yang saya gagas. Pesan menyebar begitu luas melalui jejaring sosial digital, hanya dari 140 karakter di Twitter. Tidak ada surat undangan yang dikirimkan melalui mesin faksimile atau kartu undangan yang dicetak, lalu dibungkus plastik dan dikirimkan lewat jasa kurir atau kantor pos. Ia menimbulkan efek viral yang begitu kuat.

Antusiasme mereka terbaca dari cara membalas dan mengicaukan ulang (retweet) pesan-pesan tentang rencana digelarnya forum Dinamo, termasuk ungkapan resolusi-resolusi sederhana mereka tentang perubahan. Mulai dari masalah yang umum ada di sekitar mereka, hingga politik.

 

Perubahan Itu Bernama Dinamo

Pagi itu, Sabtu, 19 Januari 2013, hujan tak henti-hentinya mengguyur. Media cetak dan televisi dalam satu minggu belakangan gencar menginformasikan banjir yang mengepung Jakarta. Aktivitas lalu lintas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia sempat lumpuh. Belum lagi wilayah lain yang selalu menjadi langganan banjir. Sebuah ujian pertama bagi pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, yang belum lama dilantik.

Sebelum berangkat, saya sempat ragu, apalagi ketika di perjalanan saya melihat ratusan warga dan para jurnalis sedang menyaksikan evakuasi korban banjir di basemen Gedung UOB Buana di Jalan M.H. Thamrin. Kumpulan massa dan media merubungi gedung itu. Deg! Hati saya berdegup. Saya khawatir terhadap keselamatan para korban, tetapi dalam hati juga mengkhawatirkan kelangsungan acara siang itu.

Dua hal ini berkecamuk dalam kepala. Lalu, saya berkicau di akun Twitter saya, @usmanHAM_ID. “Sedih lihat kondisi Jakarta. Ohya, bagi @dinamo_ID yg sudah hadir di Soehanna Hall, mulai pikirin aksi lanjutan banjir, ya.”

Saya berharap para undangan tetap menepati janjinya untuk datang. Dan sementara itu, langit Jakarta semakin tak bersahabat. Hujan dengan intensitas yang ringan, sedang, sampai lebat terus tercurah bergantian. Tiba-tiba panitia panik karena printer ICW untuk mencetak daftar hadir belum tiba, sementara para peserta mulai berdatangan. Untung ada @MaryamRodja dari @PHSK yang lalu berinisiatif datang ke lokasi.

Pada saat itu hujan deras melanda seluruh wilayah Ibu Kota yang sudah berstatus “darurat”. Transportasi umum pun nyaris lumpuh. Namun, fakta antusiasme mereka yang tergabung dalam acara Dinamo membuat saya semakin yakin akan kekuatan media baru ini. Media yang menurut Terry Flew memiliki dimensi teknologi informasi dan komputer, jejaring komunikasi, serta konten info dan media yang terdigitasi. Saya yakin, sebagai perangkat strategi dan taktik, wadah media baru ini bisa digunakan untuk menggerakkan perubahan nyata di sekitar kita. Tentu bukan sekadar perubahan nyata, melainkan menuju arah yang lebih baik, lebih adil.

*

Awalnya, saya dan Arief mau membuat ajang perkenalan bagi Change.org Indonesia. Namun saya dan Arief berpikir, jika hanya itu, kesannya kita ingin menahbiskan diri sebagai aktor. Atau bahkan seperti perusahaan yang hendak meluncurkan produk. Padahal, aktor-aktor perubahan banyak tersebar di masyarakat. Akhirnya, kami memutuskan untuk meletakkan acara ini sebagai wadah bagi aktor-aktor perubahan.

Konsep sudah ditemukan, tetapi apa nama acaranya nanti? Saya dan Arief Aziz pun mencari ide untuk menentukan nama ajang ini. Selang beberapa waktu kemudian, Arief datang menawarkan idenya. “Man, gue ada ide nih. Gue kemarin ke kamar mandi dan dapatlah ide nama ini.”

“Apa?” tanya saya penasaran.

“Dinamo,” jawab Arief Aziz.

“Boleh juga tuh ide, Rief! Jadi ingat sepeda gue waktu sekolah dulu.”

Waktu kecil, kalau ingin membuat lampu sepeda lebih terang, saya suka pergi ke bengkel sepeda untuk memperbaiki dinamo. Namun, dinamo versi Arief Aziz ini memiliki makna lain, yaitu Digital Nation Movement, Pergerakan Bangsa Digital. Saat itu saya membaca beberapa referensi gerakan sosial di era digital dan melihat orang-orang mulai mendiskusikan tentang digital nation seiring meningkatnya populasi netizens.

Suatu hari, saya ajak Arief mengunjungi seorang sahabat, alumni Trisakti yang piawai untuk mengomunikasikan ide ini. Namanya Roy Sagala. Sosok unik, cerdas, humoris, dan penuh ide kreatif. Misalnya, untuk tragedi lumpur Lapindo, Roy dan kawan-kawan membawa potongan rumah sungguhan di depan istana. Lalu ditaruh di atas aspal jalanan seolah bagian potongan rumah lainnya masih ada dan tenggelam ke dalam perut bumi. Aksi ini mendapat penghargaan dari luar negeri.

Roy pernah membantu strategi kampanye untuk menjangkau kaum muda saat saya masih di KontraS karena teman-teman ingin agar ada kesan yang lebih menarik, daripada kesan seram karena mengurusi kekerasan militer. Di ulang tahun ke-sepuluh, KontraS mulai menggunakan slogan “human loves human”, usulan Roy dengan desain-desain karya generasi muda.

Saat menulis buku ini, Roy mengingatkan saya tentang kunjungan siang hari kami ke kantor Publicis di bilangan Slipi. Inilah awal keterlibatan Publicis mendukung Dinamo. Tugas Publicis dalam adalah membangun brand identity and communication dari nol. Hal yang paling menantang adalah upaya menyatukan pemikiran bagaimana Change.org dikomunikasikan melalui Dinamo. Sebab, bagi praktisi periklanan ini bukan cara biasa. Namun, seperti pepatah: “Banyak jalan menuju Roma!” Sejak itu, dimulailah kumpul-kumpul dadakan di Menteng dan Kemang. Semua dilakukan di tengah tumpukan pekerjaan harian.

Akhirnya, dicapailah ide-ide kesepakatan mengenai call to action dan harapan respons dari target audience Dinamo. Tujuan komunikasinya membangun semangat perubahan di antara digital citizen. Dalam istilah lain, bisa kita sebut sebagai "warga negara digital". Sasarannya tentu saja anak muda. Oleh karena itu, gaya bicara (tone and manner) dari komunikasi juga harus anak muda banget.

Untungnya tim Publicis rata-rata berusia muda dan bisa jadi representasi dari target audience Dinamo. “Tanpa kesulitan, mereka menerjemahkan brief dari Usman dan dari Arief menjadi design microsite, logo, teaser materials, dan event materials,” kenang Roy. Semua dalam tonality yang fresh dan anak muda banget.

Microsite dibuat untuk menjadi tempat pendaftaran daring dengan prinsip first come first serve. Keraguan atas animo digital citizen terhadap Dinamo akhirnya terjawab dengan jumlah pendaftar yang melebihi target. “Microsite sampai down!”

Tambahan tugas Publicis untuk hari-H adalah membuat infographic soal perubahan lewat digital. Ini terus menerus ditayangkan di hari-H Dinamo dan didukung kicauan siaran langsung perkembangan acara Dinamo. Semua ini dilakukan supaya digital citizen yang berhalangan hadir bisa tetap mengikuti kehebohan Dinamo.

 

Aktor Perubahan

Nama ”Dinamo‟ saya rasa cocok untuk acara berbasis forum bersama yang mengumpulkan para penggerak perubahan ini. Saat itu, kami pun mencari nama-nama para dinamo perubahan yang dapat bergerak melalui spektrum pergerakan yang kami adakan. Dari situ kami mendata kembali sosok-sosok yang bisa dijadikan sebagai motor penggerak perubahan. Mulai dari masyarakat sipil, budayawan, sampai kelompok-kelompok komunitas yang umum.

Juga para tokoh antikorupsi, aktivis lingkungan hidup, pencinta binatang, hingga pejuang hak asasi manusia. Semuanya kami hubungi. Kami mengajak mereka untuk menghadiri rapat dan juga mengajak mereka berpikir tentang bagaimana ide pergerakan ini akan berlangsung. Tanggapan mereka terhadap acara ini cukup positif. Bagi mereka, Dinamo merepresentasikan keperluan untuk mengisi ruang yang belum banyak digeluti, yaitu pemanfaatan teknologi digital untuk perubahan positif. Setelah melalui rapat-rapat panjang serta banyak pertemuan, acara ini seakan meluncur begitu saja.

Seperti yang kita ketahui, di mana-mana nyaring terdengar pemanfaatan media sosial oleh kalangan pebisnis. Ya, media sosial memang menghadirkan peluang pasar dan pelanggan baru bagi sebuah perusahaan, meskipun sebenarnya media ini juga menciptakan peluang sosial yang baru.

 

Mereka yang Menginspirasi

Saya dan Arief Aziz tentu tidak bekerja sendirian. Dalam menyelenggarakan Dinamo, kami dibantu oleh orang-orang muda yang visioner, energik, dan juga pekerja keras. Ada @imanusman (Muhammad Iman Usman), pendiri Indonesian Future Leaders (IFL, @ifutureleaders), @NayNadine (Nadine Zamira Sjarief), Miss Indonesia Earth 2009, juga beberapa aktivis lingkungan lainnya. Dan semakin mendekati hari-H, bantuan dari orang-orang muda sahabat lama dan sahabat baru berdatangan. Mereka antara lain @arits19 (Muhammad Harits) dari KontraS, @ogiwicaksana (Ogi Wicaksana) dari @ClubSPEAK (Suara Pemuda Antikorupsi), @SyahraniGita (Gita Syahrani) dari Si Dalang, @rdungga (Retha Dungga) yang saat itu tengah merancang Indorelawan.org sambil berkampanye antikorupsi melalui Transparency International Indonesia (TII), sampai @marioyoke (Mario Prasetya), @febriantoryan (Ryan Febrianto), dan masih banyak lagi yang mungkin terlewat untuk disebutkan. Saya merasa mereka juga merasakan spirit dan kegelisahan yang sama.

Selain itu, yang membuat acara ini unik adalah para orang muda ini ikut berkumpul dan mendiskusikan persiapan acara Dinamo bersama para senior dalam dunia pergerakan sosial. Sebut saja seorang pematung terpandang yang juga ketua senat Fakultas Seni Rupa IKJ, @dolosinaga (Dolorosa Sinaga), yang langsung mengusulkan semacam manifesto: “Mari kita jadikan budaya gaya hidup sebagai budaya menggerakkan perubahan.” Juga @abduhaziz (Abduh Aziz) yang memprakarsai film-film bertemakan kesadaran politik, hingga sejarawan @hilmarfarid (Hilmar Farid) dan mantan penggerak demonstran radikal era Orde Baru, Wilson. Urban intervionist yang mengisi acara seperti @irwanahmett (Irwan Ahmett) dan analis media sosial seperti @ShafiqPontoh (Shafiq Pontoh) juga aktif mengikuti rapat-rapat persiapan acara.

Kalangan seniman dan musisi yang saat itu ikut memperkuat persiapan acara ini antara lain Direktur Galeri Foto Antara @Oscarmotuloh (Oscar Motuloh), musisi @GlennFredly (Glenn Fredly), @melaniesubono (Melanie Subono), @masbutet (Butet Kartaredjasa), produser film @mirles (Mira Lesmana) yang sempat terjebak lautan kemacetan dari Bintaro menuju Menteng, hingga group band @efekrumahkaca (Efek Rumah Kaca) yang selalu menyambut aktivitas sosial kelompok pergerakan, dan stand-up comedian Indonesia, @pandji (Pandji Pragiwaksono).

Pada hari-H, juga muncul @alissawahid (Alissa Wahid), @reneCC (Rene Suhardono), @rizariri (Riri Riza), sampai @faisalBasri (Faisal Basri). Sosok terakhir yang sempat mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta ini ikut meriung dalam diskusi Open Space bersama anak-anak muda. Ia semula dijadwalkan mengisi acara, tetapi tak jadi karena kelalaian saya, yang saat itu mungkin terkendala komunikasi di tengah keperluan kepastian acara dan daruratnya situasi Jakarta.

Kami menyadari bahwa jadwal mereka—yang sebagian mengisi acara—sangat padat. Ketika diadakan rapat-rapat persiapan yang berlangsung selama berjam-jam, ternyata mereka tetap hadir. Padahal, kondisi cuaca Jakarta pada saat itu sedang tidak menentu akibat guyuran hujan deras selama berhari-hari.

Saya juga menembusi beberapa komunitas, kelompok, dan organisasi yang menurut saya turut berupaya melakukan perubahan sosial. Saya menawarkan kerja sama kepada mereka dalam bentuk penyediaan dana maupun fasilitas. Turut bergabung dalam acara ini adalah Hivos, The Maarif Institute, Pantau Foundation, Transparency International Indonesia (TII), KontraS, dan Indonesian Corruption Watch (ICW). PT Telkom dan Acer bersedia menyediakan infrastruktur dan jaringan Wi-Fi. Sebagai media mitra, saya berhasil menggandeng The Jakarta Post dan The Jakarta Globe.

 

Patungan Acara

Saya dan Arief tidak punya biaya cukup untuk menghelat acara sebesar ini, apalagi mendatangkan mereka yang sudah menjadi tokoh-tokoh profesional di bidangnya. Syukur, mereka ambil bagian dari penentuan konsep hingga pembiayaan acara. Saya usul patungan untuk memprakarsai acara ini. Hasilnya, dana terkumpul. Ada yang menyumbang lima juta rupiah, tiga juta, sejuta, lima ratus ribu, dan akhirnya dana yang masuk cukup untuk acara.

 

Menjelang Hari-H

Konsep acara dan pembiayaannya sudah beres, tinggal saya berkoordinasi dengan pembicara, pengisi acara, kolaborator, dan seluruh panitia yang akan menentukan kesuksesan acara Dinamo. Hingga detik-detik terakhir, kami terus menggelar serangkaian rapat dan koordinasi acara. Saya tidak ingin acara ini hanya sebagai corong bagi Change.org, tetapi juga mendorong para aktor perubahan untuk bergerak dan menciptakan jejaringnya sendiri secara lebih luas lagi, hingga menimbulkan pengaruh positif pada perubahan yang ingin mereka saksikan.

Lihat selengkapnya