Digital Nation Movement

Bentang Pustaka
Chapter #3

Bagian 2: Sebuah Pilihan

Kenangan Masa Kecil

Apa yang saya jalani hari ini bukanlah cita-cita yang saya impikan sejak kecil. Namun, jalur inilah yang mengepung hari-hari saya hingga kini. Semua berlalu tanpa bisa ditolak. Jalur ini membawa saya memasuki kehidupan yang melengkapi negasi alam semesta: hitam-putih, baik-buruk, kuat-lemah, bersalah-tidak bersalah, penindas-ditindas. Tak semuanya membahagiakan memang, tetapi sering kali negasi tersebut justru berhasil memerdekakan pikiran saya.

Cita-cita saya semasa kecil adalah cita-cita orangtua. Ayah ingin saya masuk pesantren dan nantinya menjadi kiai yang disegani. Sementara Ibu memiliki pandangan lain. Meski senang bahwa anaknya kelak akan mendapat pengetahuan mendalam tentang agama, Ibu tetap ingin saya memperoleh pengetahuan umum yang luas. Ibu yakin hal itu perlu ditempuh dengan jalan saya harus masuk di sekolah negeri. Luar negeri bila perlu. Mungkin jika saat itu sudah ada sekolah internasional, Ibu pasti memilihnya.

Ayah dan Ibu pun kemudian berkompromi. Ayah membiayai madrasah dan Ibu membiayai sekolah negeri. Saya tidak jadi mondok di pesatren, tetapi menjalani sekolah ganda. Pagi-pagi saya bersekolah di SDN 09. Siangnya, saya pulang ke rumah dan makan bersama Ibu, sesekali menikmati makan siang bertiga bersama Ayah di toko material. Alih-alih tidur siang, saya harus segera mengganti seragam putih merah dengan seragam putih-hijau. Seragam yang mengidentifikasi saya sebagai santri di Madrasah Ibtidaiyah Ar-Ridha. Saya belajar agama di madrasah ini dari siang hingga sore hari.

Menginjak usia 12 tahun, waktu pergantian sekolah pun berubah. Pagi hari, saya menimba ilmu di Madrasah Yayasan Amal Kebajikan Arief Rahman (YAKA) dan siangnya langsung bergegas ke SMPN 82. Di madrasah, saya menyukai pelajaran Tarikh, semacam historiografi. Namun, kisah-kisah hidup Nabi Sulaiman a.s. yang menguasai bahasa binatang menjadi favorit story telling saya di sekolah.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, saya selalu diminta ibu ke pasar untuk berbelanja keperluan dapur. Awalnya, saya menolak karena merasa itu pekerjaan perempuan. Tapi Ibu terus meyakinkan bahwa pikiran itu tidak benar. Meskipun berat dan merasa malu, lambat laun saya justru merasa senang dan menikmati suasana pasar. Di sana, selain bisa akrab dengan para pedagang, saya juga tidak pernah kehabisan nasi uduk, kue bola, martabak mini, cakwe, dan susu kacang favorit saya.

*

Saya senang bersekolah di SD Negeri 09 Taman Jati, Jelambar. Bangunannya bagus, tanahnya luas, dan ada lapangan bola di tengahnya. Pada sisi timur ruang-ruang kelas, terdapat sebidang tanah lebar yang digunakan oleh para murid untuk bercocok tanam. Di sekolah, selain gemar berkebun bersama teman-teman, saya juga aktif ikut organisasi pramuka dengan nama grup Singa. Hingga saat ini, saya masih mengingat dengan jelas teman-teman SD yang dekat dengan saya. Suwandi, Adil, Jamie, Adewani, dan Erna merupakan geng belajar saya. Sementara Firman, Hamdani, TB Denny, Wanda, dan Boing adalah teman-teman yang sering saya ajak bermain dan melakukan keusilan khas anak-anak SD. Singkatnya, saya memiliki banyak teman dan rupanya cukup populer di antara mereka. Mungkin itu sebabnya saya berkali-kali terpilih menjadi ketua kelas dan komandan upacara saat upacara bendera. Seorang teman keturunan Tionghoa, Buncun, sering memberi saya gula dari tokonya di pasar agar saya membantunya saat ujian.

Setiap akhir pekan, saya tak pernah melewatkan kesempatan untuk berenang di pinggir laut Muara Karang. Bersama Musafik, Go Sin Tung, Gatot, Iyusmedi, dan Firman, kami menyelam mencari kerang atau kijing untuk dimakan bersama. Kami menempuh perjalanan pergi pulang dari Jelambar ke Muara Karang dengan bersepeda. Pernah suatu ketika, kami merasa heran karena ruji-ruji sepeda kami berkarat. Setelah mengingat-ingat, ternyata itu karena kami pernah mencucinya dengan air laut. Hahaha … pantas saja. Air laut memang bukan pilihan tepat untuk mencuci kendaraan. Kami hanya bisa tertawa sambil menyesalinya.

Saat kelas 6, aktivitas bermain di luar mulai dikurangi. Saya dan teman-teman menjadi lebih sering menghabiskan waktu dengan menanam berbagai macam pohon di lahan belakang sekolah. Bertahun kemudian, saya lihat pohon itu tumbuh dengan subur. Bahagia rasanya, seperti menyaksikan anak kandung sendiri tumbuh dan berkembang.

Guru-guru kami di SD lumayan galak. Pemeriksaan kuku dan gigi menjadi momen-momen yang sangat mencekam. Pernah suatu ketika, Bu Rustini mendapati gigi saya nyaris tanggal. Arrgh! Mendadak gigi saya dicabut di depan teman-teman sekelas. Saya segera berlari ke kamar mandi untuk berkumur, menjauh dari tawa tertahan teman-teman yang menyaksikan.

Guru lain yang saya ingat cukup galak adalah Bu Rustina, perempuan Batak yang suaranya keras sekali. Atribut favoritnya adalah penggaris terbesar di sekolah. Mungkin tidak benar-benar besar, tapi di ingatan masa kecil saya penggaris itu benar-benar terasa seperti sebuah ancaman.

Ada satu kejadian yang masih saya ingat dengan jelas. Kala itu, Bu Rustina tengah mengajar Matematika dan meminta kami mengerjakan soal di depan. Malang, siswa-siswa yang dipanggil gagal mengerjakan soal dan menjelaskan rumus yang dipakai.

“Saya, Bu!” Tiba-tiba Suwandi, murid berbadan kecil keturunan Tionghoa, menawarkan diri menjadi juru selamat teman-temannya yang berdiri ketakutan. Ia mengerjakan soal sambil menjelaskan dengan uraian detail di papan tulis. Benar-benar detail. Kami sampai terpana dibuatnya. Dari penjelasan itu, ternyata Bu Rustina-lah yang salah dalam mengaplikasikan rumus. Beliau segera sadar dan meminta maaf karena keliru. Maklum saja, saat itu setiap guru diharuskan mampu mengajar semua mata pelajaran. Bukan hal yang baru jika ada guru yang salah memberikan pemahaman dalam pelajaran.

Akan tetapi, ada juga guru baik dan penyabar yang saya ingat, Bu Empi dan Bu Rusmiyati. Kalau lewat, kami tak segan membawakan tasnya. Kalau guru galak lewat, dari jauh pun kami sudah berlarian. Hahaha ….

Di rumah, Ibu sering meminta saya mengantar makanan ke rumah tetangga, terlebih saat Imlek dan Natal. Di sebelah kanan rumah, tinggal Om dan Tante Gunadi, serta Albert, putra tunggal mereka. Keluarga mereka adalah keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani. Tetangga sebelah kiri, Iwan, memeluk agama Buddha. Dan tetangga depan rumah adalah Bu Ranto, yang beragama Islam. Meskipun berbeda keyakinan, Ibu selalu menanamkan bibit-bibit kekerabatan lintas batas, lintas agama, dan ras. Setiap pengajian, Ibu meminta saya meletakkan pengeras suara menghadap ke bawah agar tak terlalu berisik ke tetangga.

*

Dengan kesibukan saya menjalani sekolah negeri dan sekolah agama, Ayah rupanya belum merasa puas. Ia meminta seorang ahli tafsir Al-Quran yang dikenalnya menjadi guru privat di rumah. Akhirnya, sepulang madrasah, Ustaz Hawasyi sudah menanti untuk mengajarkan kitab kuning dengan huruf Arab gundul. Memasuki bulan puasa, rutinitas itu pun bertambah dengan menggelar tahlilan bersama Ayah dan berbuka puasa bersama.

Selepas Magrib, Ibu mengajarkan cara membaca dan melafalkan teks-teks Quran (tajwid). Sesekali Ayah menjelaskan tata bahasa (nahwu sharaf) dengan nyanyian. Setelah jeda makan malam dan shalat berjamaah, Ayah mengulas dalil-dalil naqli dan akli dari sifat-sifat zat Allah juga dengan nyanyian. Terkadang, sambil berjalan bolak-balik di atas punggungnya, saya dijelaskan asal muasal turunnya Al-Quran. Di situ, Ayah selalu mengingatkan saya pentingnya dasar-dasar logika dan akal manusia dalam memahami zat dan wahyu-wahyu ilahiah.

Rutinitas ini saya jalani bersama adik dan kakak, meski formasinya sering kali tidak benar-benar lengkap. Jadilah tinggal saya yang sulit mengelak dari Ustaz Hawasyi. Rahma, si bungsu, masih senang bermain. Kami pun maklum jika ia memilih untuk bermain dibandingkan belajar ilmu Al-Quran. Sementara Dewi, ia sering bepergian untuk membantu Ibu mengajar sejumlah majelis taklim. Lukman juga sering tak ada rumah karena “magang” di toko material milik ayah. Lucunya, para pelanggan sering mengira kalau Lukman adalah keturunan Tionghoa. Kulitnya memang paling putih, mungkin juga karena mewarisi nenek kami yang masih keturunan dari Negeri Tirai Bambu.

Saya dan Lukman memiliki hobi yang sama, bersepeda, bermain tinju, dan pingpong. Hal yang berbeda dari minat kami adalah keahlian Lukman yang menguasai pijat refleksi. Ia kerap memperhatikan Si Mamang yang rutin datang setiap hari Jumat untuk memijat Ibu. Ketertarikannya itu kini berbuah lahan bisnis. Saat ini, selain bekerja di salah satu bank swasta terkenal di Indonesia, Lukman sukses mengelola jasa pijat bernama “Amanda Reflexology” di bilangan Cinere.

Bisa jadi, insting bisnis Lukman berasal dari Ayah. Sewaktu kami semua masih kecil, Ayah memang kerap mengajari anak-anaknya cara berdagang yang benar. Ia ingin toko materialnya kelak bisa diteruskan oleh para keturunannya. Sayangnya, pada 1990, pangkalan beserta isi material bangunan dan kios-kios di depannya akhirnya dijual. Ibu kerap menyatakan keberatannya sambil menunjukkan bahwa Ibu juga akan aktif mengurus toko. Namun, Ayah berkehendak lain. Ia bersikeras pada pilihannya. Sewaktu itu, kami sama sekali tak menyangka bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa akan ada yang berubah pada kami semua.

 

Menjadi Harapan Ayah dan Ibu

Ayah dan Ibu terkenal sebagai pasangan yang gemar berorganisasi. Mereka juga aktif dalam kegiatan politik. Selain berprofesi sebagai pedagang dan pembina masjid, Ayah juga merupakan pelopor berdirinya Partai Persatuan Pembangunan. Perannya cukup banyak, mulai dari menggalang massa hingga ikut menggalang dana bagi para kerabatnya yang maju sebagai calon anggota legislatif di partai berlambang Kakbah itu. Sayangnya, caleg sekaligus kerabat yang ia dukung malah ingkar janji. Ayah pun memilih keluar daripada berkompromi dengan hal-hal yang tak sesuai hati nurani.

Ibu merupakan pengurus majelis taklim Al-Hidayah se-DKI sekaligus fungsionaris Partai Golongan Karya. Namun, karier politiknya juga harus berakhir karena perbedaan pandangan yang akhirnya membuat beliau kecewa. Setelah resmi mengundurkan diri pada akhir 1980, Ibu kemudian mendirikan Yayasan Halimatus Sa’diyah. Yayasan ini memfokuskan diri di bidang pendidikan dan sosial yang menaungi berbagai majelis taklim hingga taman kanak-kanak bernama Madya Indah.

Jumat, 8 Desember 1990, merupakan hari yang tak akan pernah saya lupakan. Kala itu, saya tengah mengumandangkan ikamah sebelum sembahyang Isya ketika tiba-tiba Ayah merasa tak kuasa untuk tetap berdiri tegak. Ia kemudian duduk di sofa sembari terus mencoba untuk berdiri lagi. Kami sekeluarga benar-benar khawatir. Dan kekhawatiran itu pun berubah menjadi rasa pedih yang amat dalam karena malam itu menjadi malam terakhir bersama beliau. Ayah berpulang tepat satu hari sebelum Ibu berulang tahun.

Pada masa-masa berkabung, ingatan saya sering melayang jauh ke masa lalu. Dulu, saya sering menggerutu di belakang Ayah karena padatnya belajar dan sempitnya waktu bermain. Namun kini, begitu Ayah tiada, rasanya segala sesuatunya menjadi hampa. Semangat untuk meneruskan madrasah pun seketika patah. Saya kehilangan energi untuk meng-gowes sepeda ke madrasah, meskipun jaraknya hanya sekitar 5 km bila ditempuh dari rumah.

Masa depan saya rasanya seperti tertutup awan gelap. Merasa prihatin, Kepala Sekolah Madrasah, Ustaz Yayat Hidayat, dan Pembimbing Madrasah, Ustaz Sya’dun, berinisiatif untuk datang ke rumah. Mereka menanyakan perihal kenapa saya tak pernah lagi datang ke sana. Bahkan, saat ujian pun saya hanya hadir beberapa kali. Mereka menghibur saya dan terus mengajak saya untuk kembali ke sekolah. Hingga suatu hari, saya diminta ke sekolah untuk melihat pengumuman hasil ujian. Dengan lembut, mereka mencoba membujuk saya untuk kembali ke sekolah.

Ketika hasil ujian diumumkan, saya pun memutuskan untuk masuk sekolah. Selain merasa tak enak, saya juga merasa penasaran dengan hasil ujian yang akan dibagikan. Di kelas, Ustaz Sya’dun bercerita bahwa ada satu murid yang membuatnya senang sekaligus sedih. Nilai ujiannya tertinggi. Namun, murid itu kini tak pernah menginjakkan kakinya di sekolah karena tengah mendapat cobaan. Ustaz Sya’dun pun mengajak para murid untuk menyemangati anak yang dia ceritakan tadi.

Seketika, semua teman di kelas menatap ke arah saya. Muka saya memerah dan terasa panas, dengan sekuat hati saya menahan jatuhnya air mata meski dada terasa sesak. Saya merasa tak pernah bisa memenuhi harapan itu. Ayahlah alasan utama saya menekuni ilmu agama di madrasah. Jika Ayah tak ada, untuk siapa lagi saya meneruskan semua ini? Dengan berat hati, saya memutuskan untuk tak datang lagi ke madrasah.

*

Sepeninggal Ayah, Ibu memberikan sepucuk wasiat Ayah yang ditujukan kepada abang laki-laki tertua saya. Tiga lembar isi surat tersebut. Pada paragraf penutup tertera:

Kepada Nanda Ahmad Fathoni dan Ahmad Syarifuddin, titip ade-ade-mu, Agan, Dewi, Eis, dan Usman Hamid, supaya sekolahnya diteruskan. Walaupun sampe jual-jual harta, Bapa senang. Asal anak-anak itu sendiri mau meneruskan sekolahnya/ngajinya. Ini penting sekali kalian bimbing agar ade-ade-mu itu jadi pelajar yang baek, jadi orang Islam yang beriman dan berilmu. Soal harta kekayaan habis tak jadi soal. Asal banyak ilmunya saja, itu aku senang dunia akherat.

 

Kegigihan Ibu

Abang saya, Ikhsan, sering bercerita bahwa selepas kepergian Ayah, meski sempat kehilangan semangat, saya tetap terlihat bersemangat untuk belajar, mengaji, dan mendalami musik. Saya bahkan membuat ruangan khusus, semacam studio kecil, supaya lebih bisa berkonsentrasi dalam bermain musik. Bisa jadi, surat terakhir Ayah menjadi pelecut semangat saya. Sejak saat itu pun, saya menjadi ekstradekat dengan Ibu. Saat Ibu sakit, saya selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya. Saya sadar benar bahwa ketika Ayah pergi, saya harus selalu mendampingi Ibu.

Sejak itu, saya lebih dipengaruhi oleh didikan Ibu. “Belajar memang nomor satu,” kata Ibu yang ingin semua anaknya jadi terpelajar dengan ilmu pengetahuan yang luas. Dari Ibu, saya banyak mengetahui dunia luar. Saat SD, Ibu mendaftarkan saya kursus bahasa Inggris di lembaga bernama “Washington” di Grogol. Lalu SMP, saya didaftarkan kursus bahasa Inggris di Yayasan LIA, Slipi, Jakarta Barat. Kegigihan Ibu memaksa anaknya belajar bahasa Inggris benar-benar saya rasakan sekarang.

Di sela waktu luang, Ibu sering mengajak saya bepergian, dari pasar sampai balai kota DKI untuk urusan yayasan, majelis taklim, panti asuhan, dan taman kanak-kanak. Setiap tahun ajaran baru, Ibu meminta saya untuk menyebar info pendaftaran TK. Desainnya dibuat oleh Lukman. Saya bersepeda mengelilingi tiga wilayah kelurahan sampai selebaran tak lagi di tangan. Selanjutnya, dengan perasaan berdebar-bedar, kami menunggu apakah ada orangtua yang mendaftarkan anak-anaknya di sekolah kami. Kelegaan melingkupi ketika ternyata TK ini cukup diminati.

“Usman, jumlah murid sudah lebih dari separuh”, kata Ibu merasa senang.

“Horeee! Semoga penuh, Mam.”

“Kamu minta Lukman cetak lagi. Sebar lagi ya!”

Dari pengelolaan TK inilah, biaya pendidikan saya dan adik-adik tercukupi. Beruntung juga sekolah yang dikelola Ibu sering mendapat penghargaan dan menjuarai berbagai lomba. Saya pun mulai sering memperhatikan interaksi Ibu dengan kepala sekolah dan guru-guru. Saya menjadi sangat terbiasa dengan suasana rapat dan diskusi.

Di majelis taklim, saya belajar dari ibu untuk berbuat sesuatu kepada orang lain dan melayani orang tanpa pamrih. Ibu mengajarkan kepada kami untuk selalu menjadi teman dari orang-orang yang kesusahan. Berjuang di jalan Tuhan bukanlah berjuang di tempat-tempat yang megah, tapi di tempat yang penuh dengan peluh dan keringat. Agar ia tak terbatas asas-asas, tapi berjalan dalam konjungtur, dan bisa dekat dengan realitas.

 

Pembentuk Kepribadian

Ibu menginspirasi saya agar selalu berada di sisi orang yang tersakiti. Bersama teman-teman, saya berupaya menjadi bagian yang aktif dalam aksi-aksi menggerakkan perubahan. Supaya yang lemah menjadi kuat, yang tertindas menjadi bebas, yang buruk menjadi baik, dan seterusnya. Meskipun pada dasarnya perubahan terletak pada diri mereka sendiri, tetapi benih-benihnya harus disemai dan juga diwadahi bersama. Hal ini harus dilakukan agar siklus perubahan itu tidak berulang, yang kuat dan bebas jadi penindas, yang baik ketika mendapat kekuasaan dan kejayaan berubah menjadi buruk.

Kepekaan terhadap sesama—seperti diajarkan Ibu kepada saya—mengharuskan kita bergelut di bidang yang memberi tempat pada kaum pinggiran dan tertindas. Alasan-alasan seperti itu yang saya temukan saat membaca buku-buku pendahulu. Mereka berpolitik dengan tindakan nyata dan pemikiran-pemikiran mencerahkan: Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, dan Hatta. Tanpa segan, mereka turun ke bawah, beraksi, dan mendampingi mereka yang diperlakukan sewenang-wenang.

 

Sepuluh Bersaudara dan Bibit Bela diri

Saya terlahir sebagai anak kesembilan dari sepuluh bersaudara. Sebagai anak laki-laki bungsu, sulit sekali memungkiri pengaruh Ayah dan mayoritas kakak saya yang laki-laki. Semuanya menekuni dan menggemari dunia bela diri. Keahlian ini sa-ngat diperlukan. Adakalanya seseorang mau tidak mau dipaksa berkelahi saat terdesak. Saya memaknai jiwa solidaritas dari saudara-saudara laki-laki, membela yang benar dan yang diperlakukan tidak baik. Mereka memengaruhi saya untuk bisa berkelahi. Berduel. Bukan tawuran, apalagi keroyokan.

Meski mengikuti perguruan bela diri sejak SD, saya kurang minat berkelahi. Mungkin ini pengaruh kelembutan Ibu. Selebihnya saya mencoba menyerap pengetahuan dari berbagai sumber. Satu sumber bacaan yang menginspirasi adalah teks-teks lagu John Lennon di album Imagine yang saya ambil dari kamar abang saya, Ikhsan. Sesekali saya bertanya apa maksud lirik-lirik lagu John. Dari situ saya belajar me-ngenai pesan perdamaian dunia. Selain “Imagine”, lirik lagu yang paling saya suka adalah “The Luck of the Irish”. John Lennnon adalah musisi yang paling banyak memengaruhi aktivisme saya.

Ayah menguasai jurus-jurus Cimande dan Tapak Suci dan terus berlatih hingga hari-hari tuanya. Besi yang ada di toko material sering dipakai Ayah untuk latihan membenturkan lengan. Kondisi tubuh Ayah termasuk kuat, bahkan untuk pijat, beliau harus ditangani oleh pemijat yang betul-betul kuat. Salah seorang pemijat langganan Ayah adalah Bang Nasri, anggota Kopassus yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Pernah suatu waktu, Ayah mendapat tantangan bela diri dari jawara yang datang dari Pandeglang. Dengan tenang, Ayah hanya meminta jawara itu untuk memukul lengannya. Tak dinyana, Si jawara Pandeglang itu malah kesakitan. Wah cerita ini mirip seperti film silat Ip Man!

Untuk mengajari anak-anaknya teknik bela diri, Ayah memanggil guru privat bernama Mbah Kardi ke rumah. Pada waktu itu, yang ikut adalah Ahmad Fathoni―dikenal paling santri, Ahmad Syarifuddin―rajin berdagang, Abdul Malik―disapa “kancil” karena cerdik, Ikhsan Kamaludin―jago kungfu, Muhammad Ali Hanafi―pendaki gunung tinggi dan berprestrasi di sekolah, serta Raden Abdul Qodir―hobi memodifikasi kendaraan bermotor dan kenakalannya benar-benar menonjol.

Saya akan menceritakan satu kisah tentang Ikhsan Putera Kamaluddin. Sejak 10 tahun, abang saya ini belajar kungfu di Perguruan Elang Sakti di Gedung Olahraga Grogol. Kaki kanan dan kirinya sampai bengkak-bengkak dan apabila dipukulkan ke benda keras, tak akan ada rasa sama sekali. Ikhsan belajar kungfu di Perguruan Elang Sakti yang bertempat di Gedung Olahraga Grogol, dan memiliki seorang suhu bernama Ang With Ang. Ia berlatih di sana selama 2,5 tahun, mulai dari memakai sabuk putih hingga mendapatkan sabuk hitam.

Ikhsan terkena hukuman saat pertandingan duel persahabatan yang digelar Komite Antarperguruan Elang Sakti se-Indonesia. Ia mewakili Elang Sakti Jakarta Barat berhadapan dengan jawara Elang Sakti Jakarta Utara. Lawannya lebih senior. Ikhsan salah gerak dan terkena pukulan keras di bagian ulu hati. Ia mengubah jurus kungfu dengan gerakan Cimande dan berhasil. Bagian kepala dekat telinga kiri lawan meneteskan darah dan dilarikan ke rumah sakit.

Ikhsan dipanggil Suhu. Ia diberi peringatan keras: tidak boleh ikut latihan selama tiga bulan. Suhu Ang menginterogasinya karena ada gerakan yang dianggap belum pernah diajarkan. Ikhsan mengaku mencuri gerakan tersebut saat mengintip Suhu berlatih di malam hari.

 

Duel

Ikhsan memang sering terlibat perkelahian. Suatu ketika, usai pulang dari Perguruan, Ikhsan diserempet mobil Fiat di daerah Empang, Grogol. Sikutnya terluka, tapi penabrak marah-marah sehingga timbul perkelahian. “Aa dikeroyok tiga orang,” katanya. Dua dari penabrak itu memegang trisula. Ia berhasil melawan dan ketiga orang itu terkapar. Ikhsan ditangkap dan dibawa ke pos polisi terminal Grogol. Kebetulan, komandan pos polisi itu yang bernama Wasiranto adalah tetangga kami. Akhirnya, dengan bantuan beliau, Ikhsan disuruh pulang ke rumah.

Perkelahian seperti ini biasa terjadi karena terpojok dan berusaha membela diri, bukan karena ingin sok jagoan. Ada kejadian lain saat Abdul Malik berkelahi dengan jagoan Pasar Kebun Pisang, Jelambar. Mameh namanya. Kebetulan Mameh adalah putra dari salah seorang anggota majelis taklim asuhan Ibu. Malik dikabarkan kewalahan lantaran berbekal tangan kosong dan telapak tangannya terluka akibat tergesek linggis lawan.

Ikhsan, yang mendengar kabar bahwa abangnya terluka dalam perkelahian, bergegas datang di tengah hujan deras dan menggantikan Malik. Tak berapa lama, Mameh terkapar dengan dada terlentang dalam injakan kaki Ikhsan. Linggis juga sudah di tangan Ikhsan. Malik segera menghentikan Ikhsan untuk tidak berbuat lebih jauh. Di antara warga yang riuh menonton, justru abang yang dibelanya melarang. Ikhsan kecewa hingga kini, sebab bekas sobekan pada lengan Malik masih membuatnya sulit mengepal.

Kejadian lainnya adalah ketika membela Rahma, si adik bungsu. Saya pernah marah dan mengejar Yudi, anak tetangga, hingga ke pagar rumahnya. Dia meledek Rahma yang memang kerap dipanggil “Neng Ndut” oleh ibu-ibu pengajian. Sejak saat itu, saya dan Yudi kerap bermusuhan, tapi tak pernah lebih dari tiga hari. Menariknya, meski kerap beda pendapat dan saling tidak suka, Yudi justru menjadi salah satu kawan terbaik bermain di masa kecil dan bermusik di masa remaja. Begitu pula saat SMP. Sebandel-bandelnya di sekolah, tak ada rasa menyesal. Malah itu jadi pembelajaran.

*

Suatu sore, Rahma yang ketika itu sudah duduk di sekolah menengah digoda oleh orang-orang yang berasal dari perguruan silat Kembang Kemuning pimpinan Marzuki, tokoh asal Makassar.

Rahma sendiri sempat melawan karena ia juga dibekali keterampilan bela diri karate Gokasi (Goju Ryu Karate-do Shinbukan Indonesia). Namun, ketika itu, lengan salah seorang dari mereka sengaja menyentuh pantat adik saya. Rahma terus berusaha melawan sambil berjalan mengarah ke dekat rumah dan langsung berteriak persis ketika berada di depan rumah. Saat itu kami memang tengah berkumpul. Yang paling cepat bereaksi tentu saja Ikhsan, meski saat itu ia tengah bersiap untuk mandi sore. Dengan memakai handuk saja, ia keluar rumah untuk meladeni mereka.

Geledak! Suara benturan terjatuh ke lantai keramik terdengar. Hanya dengan beberapa gerakan kungfu, satu dari dua laki-laki tadi terlentang dan satunya lagi lari pontang-panting. Selang dua jam kemudian, mereka kembali ke rumah kami dengan beramai-ramai, lengkap dengan pemimpin perguruan mereka yang berpakaian hitam. Namun, setibanya di depan rumah, mereka seperti celingak-celinguk ragu untuk masuk.

“Ini betul rumah Haji Abdul Hamid?” seorang yang terlihat paling tua mengenakan gelang kayu yang bentuknya menyerupai ular kecil bertanya.

“Iya, benar," jawab Ahmad Fathoni dengan suara kalem sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Keduanya terlihat saling membolak-balik telapak tangan saat bersalaman.

Tiba-tiba, pemimpin mereka meminta maaf kepada keluarga kami. Bahkan, malah meminta kedua orang tadi juga ikut meminta maaf dan lebih berhati-hati ke depan. “Ini kandang singa,” katanya sambil menyalami kami semua untuk kemudian berpamitan.

Wah, saya tertawa bila mengingat cerita itu! Lalu, saya bertanya, “A, kalau ogut waktu kecil nama perguruannya apa?”

“Usman ikut Perguruan Tapak Suci pimpinan Haji Idrus,” katanya.

*

Ada satu peristiwa yang saya kenang betul. Petang itu, di atas becak yang sedang mangkal, saya duduk di pelukan Hanafi yang sedang berkumpul bersama teman-temannya. Dulu, anak muda belum nongkrong di Starbucks. Mendadak, orang-orang tak dikenal datang menyerang. Hanafi dan beberapa temannya berusaha melawan dengan tangan kosong. Perkelahian itu berlangsung cukup lama.

“Dor! Dor! Dor!” Tak lama kemudian, aparat datang meletuskan pistol. Perkelahian bubar. Saya digendong Hanafi sambil berlari. “Jangan bilang siapa-siapa, ya!” katanya.

Hanafi mungkin nakal, tapi ia tidak bodoh. Ia pandai bela diri, mendaki gunung-gunung tertinggi, dan dikenal cerdas di sekolah karena menjadi juara I paralel sekolah. Teman-temannya banyak. Pacarnya perempuan tercantik di sekolah. Karena prestasi, Ibu menghadiahkan Honda Astrea 800—motor keluaran terbaru saat itu. Tragisnya, ia mengalami kecelakaan saat sedang bepergian bersama temannya yang kebetulan mengemudikan motor baru itu. Setelah perawatan, ia mengembuskan napas terakhir.

Ibu sangat bersedih hati. Anaknya yang berprestasi dan pandai bela diri telah pergi. Ibu sering mengajak saya untuk berziarah ke makam Hanafi. Rutinitas itu menjadi semakin sering dilakukan setelah Ayah berpulang. Ibu sering berpesan pada saya, kelak kalau meninggal, beliau ingin diistirahatkan di sebelah makam Ayah.

Ya, mengenai ziarah kubur, sekilas memang banyak pro dan kontra. Berbeda de-ngan tradisi ziarah dunia yang sering dilakukan orang-orang ke makan tokoh yang terkenal, Ibu menandai praktik ziarah ini sebagai ungkapan kerinduan dan rasa sayang kepada putra dan suaminya. Ia berharap luka batinnya terobati. Dan, semua yang bernapas pasti mati. Mengingat kematian menjadi penting agar kita menjalani hidup dengan tidak sia-sia.

*

Selain pilihan sekolah, Ayah dan Ibu memang kerap berbeda menanggapi masalah perkelahian. Bagi Ayah, itu adalah masalah yang biasa. Pernah satu kali terjadi perkelahian yang tak bisa dianggap enteng.Ketika Qadir Jaelani berada di sebuah kafe, ia dikeroyok empat aparat militer yang sedang menagih “uang keamanan”. Raden ditahan, sementara pengeroyoknya tidak.

Ibu benar-benar terpukul dan merasa sedih. “Nden itu (panggilan Raden AQJ) laki-laki dewasa. Biarkan dia bertanggung jawab terhadap perbuatan sendiri,” kata Ayah. Namun, Ibu memilih untuk tak berdiam diri. Ia bergerak ke sana kemari mencari cara untuk membebaskan anaknya. Bukan karena tak suka hukum atau ingin melawannya. Ini tentu rasa sayang ibu kepada putranya. Selain itu, Ibu paham betul bahwa tahanan sering diperlakukan secara sewenang-wenang, tak peduli ia benar-benar bersalah atau tidak.

Semua urusan dengan pemerintah, kepolisian, sampai militer tak asing di mata Ibu. Selain mengurus yayasan, Ibu memiliki banyak kolega dan kerabat dari kalangan militer, Raden Abdul termasuk Kopassus dan CPM. Ibu kerap diundang minum kopi oleh Pangdam Jaya. Gubernur Jakarta saat itu, Wiyogo Atmodarminto, pernah berkunjung ke rumah kami. Selain dari foto, saya juga ingat karena Gubernur mengendarai motor besar: Harley Davidson. Tetangga riuh berdatangan ingin melihat dari dekat.

Saya sendiri tak pernah terlibat perkelahian seperti mereka. Jika terlibat pun, skalanya kecil. Waktu itu, saya, Deny, Risman, Sandy, dan Iwan sedang menikmati musik sambil makan bakmi di kompleks BDN. Lokasinya dekat dengan sekolah. Tiba-tiba puluhan pelajar sekolah lain berdatangan membawa senjata Kami semua tenang, bicara perlahan, dan saling menatap bersiap menunggu aba-aba. Pelajar-pelajar yang tak bersahabat itu berdiri memutari kami. Sadar akan kepungan, kami tetap tenang. Persis saat beberapa orang mulai memutar rantai berujung, kami berempat spontan berdiri, mengambil batu besar yang kami siapkan di bawah meja warung, menunjukkannya pada mereka, dan bergerak. Mereka mengejar dan kami berlari mundur sambil mencoba melawan.

Mereka berteriak-teriak. Sampai akhirnya teman-teman kami yang tengah berkumpul di dekat sekolah mendengar dan ikut membela. Meski sedikit, karena teman-teman kami ke luar satu per satu, terlihat seperti banyak dan tak berakhir. Para penyerang itu lari tunggang langgang. Polisi pun datang. Teman-teman cepat berlarian menghindar. Saya malah tertangkap dan dibawa polisi ke mobil patroli. Saya diinterogasi di jalan, lalu tak lama kemudian dilepaskan.

Esoknya, kami berkumpul lalu memutuskan untuk mendatangi penyerang dan mengajak berkelahi satu lawan satu. Kami bergerak menuju ke sekolah lawan, tapi setibanya di lokasi, rencana itu batal karena aparat keamanan telah berjaga di depan sekolah mereka.

Saya memang tak suka tawuran. Pernah sekali waktu nyaris ikut terlibat. Saat itu, teman-teman bercerita kalau SMA kami akan diserang pelajar sekolah lain. Tongkrongan pengancam ini ada di jalur bus yang biasa mereka lewati. Jadi, mustahil menghindar. Saya bisa saja tak peduli karena saya mengendarai motor. Tapi, pilihan itu tak ada dalam kamus ajaran keluarga. Dengan mengambil risiko, saya menyatakan bersedia membantu.

Dari segi jumlah, pengalaman dan kekuatan, kami yakin akan kalah. Kami bersiasat. Memberi kesan seolah kami lebih terbekali. Secara naluri, saya mengambil double stick milik abang saya tanpa izin. Seorang teman lain, Rio Prasetyo Wibowo, malah membawa celurit. Anak satu ini memang sering tawuran. Akhirnya, demi mencegah teman-teman kami diserang, kami berdua sepakat untuk mengawal perjalanan pulang teman-teman kelas Fisika dan Biologi yang rata-rata teman-teman sekolah di SMP 82.

Persiapan itu bukan untuk menyerang, melainkan hanya untuk mempertahankan diri. Dalam perjalanan, kami meminta sopir bus agar bersiap melarikan bus dengan kecepatan tinggi. Sebab dari jauh, kami sudah melihat kerumunan pelajar sekolah lain yang bersiap mengadang kami. Jadi, saat mendekati atau melewati halte tempat berkumpul mereka, kami memperlihatkan seolah kami sudah bersiap.

Saya mengeluarkan dan memutar-mutar double stick. Dari pintu depan, Rio mengacungkan celuritnya kepada anak-anak itu. Sopir bus sedikit mempercepat gerak bus. Taktik ini berhasil. Saat kami persis melewati halte itu, banyak dari mereka yang justru berpura-pura tidak menatap kami. Padahal, beberapa di antara mereka terlihat membawa sesuatu seperti ikat pinggang berujung besi gerigi tajam dan seperti sudah bersiap menyerang. Aman!

Pergaulan di lingkungan Jelambar memang cukup keras: perkelahian antar geng, rusuh, dan mabuk. Bagaimanapun, saya cukup tegas menolak itu semua. Terlebih lagi terhadap obat-obatan jenis putau, sabu, heroin. Racun kimia itu mampu merusak ginjal dan otak. Saya memiliki teman-teman dekat yang kecanduan barang haram itu, tetapi mereka berhasil melepaskan diri dan berubah total. Salut! Kata orang, masa sekolah adalah masa nakal-nakalnya seorang anak sampai saya merasakan kenakalan itu sendiri. Meskipun tidak menganggap diri sebagai jagoan, jika ada teman atau orang yang disakiti, saya tidak akan diam begitu saja.

 

Prestasi Band

Sama seperti remaja lain yang gandrung menekuni hobinya, kebiasaan bermusik yang sudah saya miliki sejak SMP berlanjut ke SMA. Formasi personel band-nya pun tetap. Saat SMP kami memainkan lagu-lagu The Sex Pistols. Saat SMA, lagu-lagu Guns N’ Roses, The Beatles, dan The Rolling Stones. Tiada hari tanpa berkumpul dan bermain musik. Akibatnya, saya gagal untuk mengatur waktu belajar saat ujian tiba. Saat kuliah, pengelolaan waktu mulai lebih teratur meski semua pengalaman ini harus dibayar dengan tidak tidur berhari-hari.

Dari interaksi harian itu, dan pengaruh mendengarkan musik-musik luar, kami berhasil menciptakan karya sendiri. Kami pernah ikut festival band se-Indonesia yang diadakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) awal 1990-an. Salah seorang juri waktu itu adalah Bens Leo. Dari sekitar 600 band peserta, band kami lolos semua tahap seleksi. Karya musik kami diputar di radio-radio. Babak final menyisakan sembilan band yang tampil live di Plaza Festival Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan.

Band kami meraih dua penghargaan sebagai runner up pertama dan band dengan lirik lagu terbaik. Saat itu Denny, sang vokalis, maju untuk menerima piala. Lalu, di akhir pengumuman, ada sebuah kejutan dari juri. Mereka mengatakan ada satu band yang meraih sambutan besar dan setelah ditimbang juri lebih jauh, band ini memiliki aransemen lagu terbaik, dan itu adalah band kami. Di situ, saya didaulat maju. Senang rasanya. Segala lelah yang dirasa mendadak hilang. Penyelenggara festival menjanjikan kepada kami untuk rekaman. Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun berganti tahun, hingga saat ini, janji itu tak juga direalisasi. Nasib ....

Sebagai nostalgia dan penghormatan terhadap kawan-kawan satu band, berikut saya sertakan lirik lagu kami yang pada saat itu meraih piala sebagai lirik lagu terbaik.

 

 

Lihat selengkapnya