Siang yang terik. Udara kering menyapu wajah Maryam. Di bawah pohon akasia, ia berteduh. Jam masuk kantor masih kurang sepuluh menit. Itu artinya, ia masih bisa membaca pesan whats app dan membalas beberapa pesan yang penting.
Maryam mengambil ponsel dari saku. Dua ratus dua belas pesan dari satu chat? Matanya terbelalak sambil menggulirkan ujung jempolnya menyapu layar.
“Mas Ardi?”
Detak jantungnya berpacu. Lama ia terpekur, membaca pesan demi pesan yang sama sekali tidak singkat.
“Hai. Ayo masuk. Nanti kita ada tinjauan kerja, lho,” ajak Retno yang tiba-tiba berada di dekat Maryam.
Maryam tergagap. Ia belum selesai membaca pesan dari Mas Ardi, apalagi membalasnya.
“Iya.”
Maryam segera bangkit dan berlari kecil menyusul Retno.
“Kamu kenapa? Ada masalah?” Tanya Retno sambil memandang manik mata Maryam.
Maryam menggeleng.
“Nggak apa-apa, kok. Cuma tadi ada pesan WA. Panjaaaang, banget. Hehe.”
Retno tersenyum simpul.
“Itu WA romantis paling, hahahaha,” celetuk Retno sambil mempercepat langkah.
Maryam tersenyum kecil. Pesan romantis? Sepertinya tidak mungkin. Mas Ardi buka tipe lelaki yang puitis, apalagi romantis.
Langkah Maryam gontai. Perasaannya kalut. Pesan apa yang disampaikan Mas Ardi? Apakah ada kabar penting? Tapi, sekarang ia harus fokus bekerja. Baru pukul 16.00 ia bisa kembali membaca dan memahami maksud pesan dari laki-laki berusia 35 tahun itu.
Sudah menjadi kesepakatan, bahwa pada jam kerja seluruh karyawan harus menitipkan ponselnya ke petugas. Tidak mungkin hanya karena rasa penasaran, Maryam nekad membuka ponsel. Apalagi, hari ini ada evaluasi kinerja.
“Ya ampun, Maryam. Kamu kenapa lagi?” Retno menatap wajah kalut sahabatnya.
“E.... enggak kok. Nggak ada apa-apa.”
“Kalau nggak ada apa-apa, mestinya kamu kayak biasanya, dong! Ibu sakit? Atau kamu ada masalah?” cecar Retno usai mereka menyimpan ponsel di loker.
Maryam menggeleng kuat. Ia mencoba mengingat pesan WA yang dibaca sekilas.
Mas Ardi: Jadi, bagaimana tentang kelanjutan kisah kita?
Mas Ardi: Aku masih sama. memiliki harapan yang sama denganmu.
Mas Ardi: Tetapi aku bimbang.
Mas Ardi: Aku terjebak, Dik.
Mas Ardi: Aku harus memilih orang yang sama sekali belum aku kenal.
Mas Ardi: Ini tidak seperti apa yang kamu bayangkan.
Mas Ardi: Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Hanya kamu.
Lantas pesan WA yang ratusan belum terbaca, apa isinya? Hati Maryam berdebar. Perasaan demi perasaan berloncatan. Apakah ratusan pesan dari Mas Ardi berisi kabar baik, atau sebaliknya?
“Maryam, kamu dipanggil Pak Irfan,” ujar Retno membuyarkan lamunan Maryam.
Maryam tergagap. Lalu, ia menuju ruangan berdinding warna cokelat.
***
Pukul 20.00 WIB. Udara yang panas terasa lebih kering. Kipas mungil di kamar kos Maryam berderit. Maryam masih belum membalas pesan dari Mas Ardi, lelaki yang sejak lima tahun lalu mengisi hari-harinya. Walaupun berkomunikasi hanya melalui WA, atau pun kadang melalui telephone, namun Maryam merasa bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
Lantas, apa yang membuat Mas Ardi memutuskan untuk menerima gadis pilihan ibunya? Maryam menitikkan air mata.