Keesokan harinya, Maryam berusaha menjalani rutinitas. Membuat sarapan, menyeduh teh, membawa bekal air mineral, dan menyapu lantai. Hari ini, Maryam harus tetap bekerja, sekalipun perasannya tak dapat digambarkan. Kecewa, tetapi ia tak boleh menentang takdirNya. Bukankah jodoh, rezeqi, dan maut sudah dituliskanNya? Tinta telah kering dan ketetapanNya selalu berjalan.
Hingga akan menutup pintu kamar kosnya, Maryam belum sekalipun melihat isi ponsel. Sejak semalam hingga pagi tadi, banyak pesan membanjiri ponselnya. Namun, ia belum juga berselera untuk membukanya. Sampai kapan ia tak mau membaca penjelasan dari Mas Ardi?
Sesampainya di kantor, Maryam pun segera menuju mejanya. Ia memasukkan ponsel di loker. Lalu, segera fokus menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai sebelum pukul 12.00. beberapa kali airmatanya hendak jatuh, tapi ia tahan.
“Maryam, dipanggil Pak Irfan,” ujar Retno.
“Wah. Ada apa, ya?” Maryam masih berkutat dengan hitungan di file exceel.
Retno mengangkat bahu.
“Tapi, kayaknya beliau lagi happy, kok. Paling mau dinaikkan gaji,” celetuk Retno.
“Hus!” Maryam mengibaskan telapak tangan kanannya.
Sejurus kemudian, Maryam memasuki ruang kerja atasannya.
“Permisi, Pak.”
“Silakan masuk, Maryam.”
Maryam berdiri. Rasanya kikuk. Kenapa Pak Irfan belum menyuruhnya duduk?
“Sebenarnya, saya memanggil kamu bukan berhubungan dengan urusan pekerjaan,” ujar Pak Irfan.
Maryam hanya tersenyum. Ia cukup beruntung, mendapat atasan yang baik dan tak pernah memarahi, meski ia melakukan kesalahan.
“Maaf, lupa. Silakan duduk,” ucap Pak Irfan menyilakan dengan sopan.
“Terimakasih, Pak.”
Maryam menunduk. Dalam hati, ia merutuk “Kenapa tiba-tiba ada debar halus yang berdetak di jantungnya?”
“Begini. Saya, ada keponakan di rumah. Dia membutuhkan guru privat. Saya kira, kamu orang yang cocok,” ujar Pak Irfan.
Maryam terdiam. Menjadi guru privat? Tapi, apa ia mampu? Sedangkan, dia selalu pulang sore. Bagaimana dia bisa membagi waktu? Tapi, apa Maryam bisa mengajar? Ketika hatinya masih basah oleh luka. Ketika kini, ia berpayah-payah menyusun serpihan luka untuk tetap melanjutkan aktivitas. Apa ia bisa?
“Jadi, nanti kamu bisa datang ke rumah pukul 15.00. Rumah saya tidak jauh, kok. Lima belas menit dari sini.”
“Oh, iya Pak. Mungkin, saya bisa sampai rumah Bapak, setengah empat,” ujar Maryam sambil memperhitungkan lama perjalanan.
“Tidak, kamu pukul 15.15 sudah sampai rumah,” ujar Pak Irfan dengan nada lembut.
“Oh,” Maryam berpikir.