“Hallo, Om dan Kakak!” Sapa anak lelaki berbulu mata lentik.
Pak Irfan tersenyum. Ia mengusap kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
“Namaku, Farhan,” anak itu mengulurkan tangan.
“Hai, Dik. Kenalkan, namaku Maryam.”
“Nah, Farhan. Kak Maryam akan menemani kamu belajar. Kak Maryam ini, pintar lho. Dia bisa membantu kamu belajar apa saja, “ ujar Pak Irfan.
“Hahaha. Aku tahu, lah. Kelihatan, kok kalau Kak Maryam itu pintar,” celetuk Farhan.
“Emang ada tulisannya?” Tanya Maryam.
“Haha. Ya, ada deh,” Farhan memamerkan giginya yang bersih.
Pak Irfan meninggalkan Maryam dan Farhan di ruang keluarga. Farhan termasuk anak yang bersemangat. Ia mengambil buku, pensil, dan dua lembar kertas HVS kosong. Ia menyukai matematika. Maryam baru tahu, kalau Farhan duduk di kelas 1 SD. Padahal, jika hanya melihat dari badannya yang bongsor, Maryam mengira dia adalah anak kelas empat.
Pada pertemuan pertama ini, Farhan mengerjakan PR. Sebenarnya, dia anak yang cerdas. Ia cepat mengerjakan soal. Tulisannya pun sangat rapi. Bahkan, tulisan Mas Ardi masih kalah dibandingkan dengan tulisan anak ini. Ah, kenapa Maryam justru sulit menepis bayangnya? Kenapa justru ketika semakin ingin dilupakan, bayangnya semakin jelas dan nyata?
Lamunan Maryam buyar. Farhan menyodorkan hasil hitungannya. Belum ada sepuluh menit, dan dia menyelesaikan 10 soal. Berarti, ia hanya butuh satu menit untuk satu soal. Anak cerdas! Semua soal dikerjakan dengan benar. Lalu, kenapa dia masih membutuhkan pengajar privat?
Maryam tak perlu canggung bersama Farhan. Selain ceria, Farhan juga memiliki ide, akan belajar apa dirinya. Selain itu, Farhan termasuk anak yang peduli.
“Kak, ayo diminum dulu,” ia memberikan Maryam teh manis yang disajikan Mbak Irah.
“Jangan lupa, dimakan kuenya,” ucap Farhan sambil mengambilkan kue dan menaruhnya di dekat Maryam.
Maryam tersenyum. Ia memang sedang lapar.
“Nanti, nginap di sini saja, Kak,” ujar Farhan.
Maryam terbelalak.
“Wah, nanti kasihan teman Kakak,” ujar Maryam.
“Memangnya kenapa?”
“Dia nanti nggak berani tidur sendirian,” jawab Maryam.
“Hahahha. Ya sudah, nanti aku menginap di tempat Kakak aja, boleh nggak?” Farhan meminta dengan nada memelas.
“Bukannya nggak boleh, Dik. Tetapi, tempat Kakak itu kecil, sempit. Tidak seperti rumah Om Irfan,” papar Maryam.
“Ah, nggak apa-apa. Semalam ini aja,” pinta Farhan.
Maryam bungkam. Ia tak tahu harus menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa. Permintaan Farhan itu sebenarnya sederhana. Hanya saja, Maryam merasa rendah diri. Apakah Farhan akan kerasan bermalam di kamar kos nya yang luasnya hanya sepertiga kamar milik Farhan?
“Maryam, keberatan?” tanya Pak Irfan tiba-tiba.
“Saya nggak keberatan, Pak. Tapi, kamar kos saya kecil dan sangat mungil. Saya kasihan kalau Farhan tidak kerasan,” ujar Maryam lirih.
“Aku pasti kerasan, asal ada Kak Maryam,” celetuk Farhan.
“Tapi, Mas,” ucap Maryam.