Kesunyian rumah yang ditinggalinya sendiri membuat Melia berpikir untuk menjual rumahnya, tetapi terkadang dia berpikir bahwa yang dibutuhkannya adalah seorang laki-laki untuk tinggal bersamanya. Meskipun Melia takut menikah lagi karena dia takut kehilangan orang yang dicintainya, perempuan itu tahu tubuhnya merindu peluk cumbu. Ketika dilema itu dikatakannya pada Nana, teman akrabnya, Nana mencetuskan sebuah ide.
“Dijual: Rumah beserta Janda,” kata Nana dengan dua tangan terangkat ke atas dan saling menjauh seolah sedang merentangkan spanduk.
“Kau gila!” Melia berseru dan mendelik dan Nana tertawa.
“Benar; ini memang gila,” kata Nana. “tapi di dunia kreatif, kegilaan itu penting.”
“Apa hubungannya dunia itu sama aku?”
“Kau mau jual rumah, kan?”
“Ya.”
“Sekalian nyari suami?”
“Kalau cocok.”
“Nah, itu, kan, klop. Jual rumah beserta janda untuk dinikahi.”
“Kalau cocok.”
“Kalau nggak cocok, ya, jangan lepas. Kan, kau yang jual.”
Melia tampak memikirkannya. Dia tahu bahwa Nana ahli dalam membuat kata-kata. Temannya itu bekerja sebagai copy writer di sebuah agensi iklan.
“Apa itu tidak terlalu ... ummm, terus terang, Na?” tanya Melia, ragu-ragu.
“Mel, tagline itu cuma hook.”
“Aku seperti menjual diri ....”
“Hanya orang tolol yang akan mengartikan kamu menjual diri, Mel,” kata Nana. “Dan, target pemasaran kita bukan orang tolol.”
“Aku pun tak mau kawin sama orang tolol.”
“Pasti. Meskipun jatuh cinta sering kali bikin kita tolol.”
Melia butuh waktu untuk mencerna kalimat Nana. Nana nyengir. Lalu mereka tertawa bersama.
Saat itu mereka sedang nongkrong di kafe. Ini bukan akhir pekan, tetapi kafe ini selalu ramai. Seorang pianis memainkan piano di panggung rendah dekat konter pemesanan. Ekspresinya tampak penuh penjiwaan, dan tampak tidak peduli dengan pengunjung yang sibuk berbincang atau memainkan gawai masing-masing. Dunia seolah hilang, yang ada adalah dunianya.
Melia tahu lagu yang dimainkan; Heaven Knows, Rick Price.
Maybe my love will come back some day
Only heaven knows
And maybe our hearts will find a way
Only heaven knows
And all I can do is hope and pray
'Cause heaven knows ....
Di meja sebelah ada sekelompok pemuda memperhatikan Melia dan Nana. Mereka bercakap sambil menolehi meja dua perempuan itu.
“Ada yang merhatiin,” kata Nana.
“Berondong,” sahut Melia.
“Mengapa?”
“Apa yang bisa diharapkan?”
“Nah,” Nana mencondongkan tubuh ke depan, “suami Mama Yolan aku taksir usianya separuh usia Mama Yolan.”
“Hai, Mama Yolan sudah nggak butuh apa-apa dari suaminya. Dia sudah kaya raya.”
“Tetap saja seperti kau; butuh kehangatan.”
Mereka berdua tertawa lagi. Sekelompok pemuda di meja sebelah itu menolehi lagi. Lalu, seorang dari mereka bangkit dan mendekati meja Nana dan Melia. Dia berdiri di sisi antara dua perempuan itu.