Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #2

Bab Dua

Pagi harinya Melia membuka gawai dan menemukan pesan dari Nana yang berisi tautan. Perempuan itu membuka tautannya. Jendela situs web terbuka dan iklan yang dijanjikan Nana semalam kini telah terpampang di sebuah situs jual beli properti daring.

Iklan itu memuat foto rumah Melia tampak dari depan. Melia lupa kapan mengabadikan rumahnya itu. Foto itu menjadi gambar layar gawainya sejak lama. Tidak ada yang berubah pada rumahnya sejak foto itu diambil, kecuali beberapa tanaman bunga dalam pot.

Pada bagian bawah foto rumah itu ada foto Melia dalam bidikan dekat. Foto itu Melia ambil dadakan memenuhi permintaan Nana. Latar foto itu adalah ruangan kafe beserta pengunjung yang tanpa sengaja masuk frame. Namun, oleh Nana, latar itu dihilangkan sehingga fotonya tampak menyatu dengan latar rumah di belakangnya.

Kalimat yang tertera dalam gambar iklan itu ditulis besar dan mencolok. Dijual: Rumah beserta Janda.

Benar, ada tanda catatan kecil: jika berjodoh. Namun, apa artinya catatan kecil itu dibandingkan tagline besar yang akan membetot perhatian?

Melia menarik napas panjang. Seperti kayu yang telah dibakar, apa yang sudah berlaku tidak bisa dibatalkan. Mungkin sampai kayu menjadi abu, atau menjadi arang.

Abu dan arang; mengapa selalu hanya itu pilihan untuknya? Melia menggelengkan kepala. Pikirannya mengambang pada masa-masa lalu yang buram. Melia merasa demikianlah takdirnya; hanya menjadi abu atau arang. Hanya kalah. Selalu kalah.

Melia meletakkan gawainya. Perempuan itu mengambil jubah mandi dari cantelan kapstok, juga handuk kecil di sampingnya, sebelum melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.

Meskipun di rumah ini tidak ada siapa-siapa, meskipun semua gorden jendela tidak pernah terbuka, meskipun keberadaannya tidak bisa dilihat dari luar, tetapi Melia selalu mengenakan pakaian sebagaimana seharusnya. Padahal, bila telanjang pun, siapa yang melihat? Hanya cicak.

Bahkan, ketika rumah ini dulu dia tinggali hanya berdua dengan suami, Melia tidak pernah telanjang di dalam rumah, kecuali suaminya yang menelanjangi, menggendongnya ke kamar mandi, dan mengajaknya bermain air dalam tawa, dalam cinta, dalam nafsu ....

Melia mendesah. Air pancuran mengalir membasuh kulitnya. Suara gemericiknya seolah bergema dalam keheningan.

Selepas mandi dan berganti pakaian, Melia menuju jendela, melewati perangkat televisi dan audio yang telah lama tidak dinyalakan. Meskipun kesunyian ini selalu mengurungnya, selalu mengungkungnya, Melia amat jarang memecah sunyi dengan menyalakan perangkat hiburan itu.

Perempuan itu menyibak gorden, membuka jendela nako, berharap udara pagi membuat tekanan sunyi itu berkurang.

Melia menghela napas panjang.

Gawainya berbunyi dari dalam kamar yang pintunya terbuka. Deringnya berupa lagu dari masa lalu: Kaulah Segalanya.

Lagu itu selalu membawa kenangan berujung duka, tetapi Melia tidak hendak membuangnya dari pilihan nada dering. Itu seperti sebuah tempat yang telah kita tinggalkan, tetapi tetap saja kita selalu ingin menengoknya.

Kenangan. Berapa banyak kenangan yang sanggup diingat? Mengapa ada kenangan yang terlipat? Mengapa ada yang mudah terbentang seolah baru kemarin saja?

Kenangan yang bertumpuk dalam ingatan Melia rasanya terlalu manis, sekaligus terlalu pahit.  Namun, berbeda dengan cerita di koran itu yang menjual rumah beserta kenangannya, Melia tidak hendak melakukan itu, jikalau pun kenangan bisa dijual.

 Bagi Melia, kenangan itu seharusnya memang abadi menjadi miliknya, di tempat yang selalu ada untuk ditengok, meskipun dengan perasaan sedih, seperti lagu pada nada dering gawainya itu, yang membuatnya sedih sekaligus merindu.

Kenangan; apa bedanya dengan mimpi dan angan-angan masa depan? Seharusnya berbeda, seharusnya, tetapi bagaimana bisa membedakan jika takdirnya tidak berubah?

Ketika Melia sampai di kamarnya untuk menerima telepon itu, dering panggilannya telah berhenti. Perempuan itu memungut gawainya di atas selimut yang terbentang rapi. Lalu dia duduk di pinggir ranjang. Sebaris nama terpampang pada notifikasi panggilan tak terjawab: Alban.

Melia berpikir untuk menelepon balik nomor itu, tetapi dia mengurungkannya. Alban, Melia tahu, adalah nama suami Nana. Nana memang terkadang menggunakan telepon suaminya untuk menelepon Melia.

Sebelum Melia kembali beranjak, gawainya kembali berdering. Masih nama yang sama terpampang di sana. Melia mengangkatnya.

“Ada apa, Na?” tanya Melia setelah mengucapkan ‘halo’. Beberapa detik Melia menunggu jawaban, tetapi tidak terdengar suara.

“Halo ..., Na ....” Melia memanggil.

“Ini aku, Mel,” sahut seberang, suara laki-laki.

“Bang Alban?”

“Iya.”

“Ada apa, Bang?” Melia bertanya, merasa cemas karena baru kali ini suami Nana itu meneleponnya. “Nana kenapa?”

“Tidak apa-apa, Mel. Aku hanya ...,” suara Alban terjeda. Melia mendengar percakapan yang lamat. Percakapan yang dijauhkan dari telepon. Lalu kembali terdengar suara laki-laki itu, meminta maaf karena terjeda, dan melanjutkan, “kamu sudah tahu ada yang memasang iklan menjual rumahmu?”

Pertanyaan itu membuat Melia merasa aneh.

“Nana tidak cerita?” tanya Melia.

“Tidak.”

“Nana yang masangin iklan itu.”

“Termasuk kalimat iklannya?”

“Iya. Aku sudah memprotes, tetapi kata Nana ....” Melia berpikir tidak perlu menjelaskan itu. Dia lalu bertanya, “Kenapa dengan kalimat iklannya, Bang?”

Lihat selengkapnya