Melia masih terlalu kecil ketika Ibu dan Ayah bertengkar malam itu. Kemudian Ibu masuk kamar, dan sepertinya Ayah keluar rumah; Melia mendengar suara mobil menjauh dari rumah. Ibu mengeloninya, dengan masih menangis. Melia tertidur dan tidak berpikir bahwa itu akan menjadi kali terakhir dia tidur di kamarnya.
Melia tahu itu bukan sekali pertengkaran yang dia dengar belakangan hari. Sebagai kanak-kanak, dia berpikir bahwa orang yang bertengkar nanti akan berbaikan. Seperti halnya ketika Melia bertengkar dengan teman-teman sepermainan.
Besok paginya, Ibu berkemas. Dia memindahkan beberapa pakaian dari lemari ke koper dan tas. Dia juga membawa perangkat pemutar kaset beserta kaset-kaset pita yang sering diputarnya. Termasuk lagu yang paling Ibu sukai, yang sekarang Melia tahu berjudul House for Sale.
Dulu, sama seperti narator cerpen di koran itu, Melia pun mengira itu berbunyi apuse—seperti lirik lagu daerah yang diajarkan guru sekolah dasarnya. Melia bisa mengingat nada-nada musiknya, tetapi dia tidak tahu liriknya sampai sekarang.
Setelah mengemasi barang-barang itu, Ibu memanggil becak. Dua buntal diletakkan di atas sandaran penumpang. Satu tas besar bersisian dengan Ibu di bangku penumpang. Melia dipangku Ibu. Di kakinya ada tas keresek berwarna hitam.
Sementara becak melaju meninggalkan rumah, Melia berlagu dan dia menganggap sedang bertamasya bersama Ibu.
Saya mau tamasya
Berkeliling keliling kota
Hendak melihat lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak ... becak coba bawa saya
Namun, becak tidak berkeliling kota. Becak itu membawa Ibu dan Melia ke terminal angkutan umum. Mereka kemudian naik mobil angkutan dan menuju rumah baru: sebuah rumah di antara deretan rumah lain, rumah yang sempit, yang tidak mempunyai banyak perabot, yang antara dua ruang hanya bersekat papan, dan kamar mandi di ujung, digunakan banyak orang. Rumah yang kemudian Melia tahu disebut sebagai kamar kontrakan.
Melia dan Ibu tinggal di situ tanpa Ayah. Melia bertanya mengapa Ayah tidak ikut serta, Ibu bilang Ayah sudah tidak akan bersama mereka lagi.
“Mengapa begitu?” tanya Melia.
“Karena Ayah sudah bukan milik kita,” sahut Ibu.
Melia tidak benar-benar memahami, tetapi dia tahu bahwa dia tak perlu lagi bertanya tentang Ayah. Lagi pula, selama ini pun Melia tidak mempunyai Ayah yang sama seperti teman-temannya.
Ayah hanya sesekali pulang ke rumah. Dia lebih banyak pergi entah ke mana, entah di mana, entah melakukan apa. Setiap kali Ayah datang, Ibu akan menyuruh Melia bermain, atau akan mengeloni Melia sampai tidur.
Sesekali memang Ayah mengajak Melia pergi bersama Ibu, tetapi itupun selalu Ibu yang menggandeng dan menggendongnya. Ayah tidak pernah mengajak Melia bermain atau bercanda. Maka, ingatan Melia akan Ayah adalah suaranya ketika bertengkar dengan Ibu. Melia bahkan lupa seperti apa wajahnya.
Di rumah yang kemudian Melia tahu disebut kontrakan itu, Melia mempunyai teman-teman baru dan dia lekas menyesuaikan diri. Melia senang karena dia tidak kesepian.
Kemudian, Ibu bekerja. Dulu, Ibu selalu di rumah menemani Melia. Sekarang, tanpa Ayah, Ibu harus bekerja untuk mendapatkan uang.
Ibu bekerja di tempat karaoke, dan Melia dititipkan ke salon teman Ibu, seorang waria, yang Melia panggil Tante Septi. Hampir sepanjang masa tumbuh kembangnya, Melia berada di salon; hanya kadang-kadang saja diajak Ibu ke karaoke.
Ketika kelas tiga sekolah dasar, Melia pernah bersepeda melewati bekas rumahnya itu dan menemukan papan bertuliskan “Rumah Ini Dijual”. Dia mengabarkan itu pada Ibu, dan ibu berkata bahwa mereka meninggalkan rumah itu karena memang rumah itu akan dijual.
“Mengapa dijual?” tanya Melia.
“Karena ayahmu mempunyai keluarga lain, dan rumah itu diminta oleh keluarga lainnya, dan mereka yang menjualnya,” jawab Ibu.
“Siapa keluarga lain Ayah?”
“Istri pertamanya.”
“Jadi, Ayah punya dua istri?”
“Ya.”
“Aku punya dua ibu?”
“Tidak, Melia. Mereka tidak mengakui kita sebagai keluarga ayahmu.”
“Melia tidak mengerti.”
“Kelak kamu akan mengerti.”