Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #4

Bab Empat

Segalanya adalah baru: rumah, suami, lingkungan tempat tinggal, dan harapan. Melia meninggalkan kenangan di belakang. Bersama harapan, perempuan itu menatap masa depan seakan semua hal baik ada di sana, dan semua hal buruk telah berlalu.

Namun, bisakah dia tinggalkan pula nasib buruk yang seolah memang melekat pada dirinya? Yang membuatnya merasa bahwa ke mana pun Melia pergi, nasib buruk itu adalah miliknya?

Melia telah belajar menjadi istri dan telah mempersiapkan diri menjadi seorang ibu. Ibu berhenti dari pekerjaannya di karaoke untuk menemani Melia. Rendi bekerja delapan jam sehari dan setiap libur mengajak Melia dan Ibu tamasya keliling kota—yang selalu membawa kenangan Melia akan kepergiannya naik becak dulu bersama Ibu.

Orang tua Rendi tidak pernah menjenguk mereka, dan Melia pun tidak pernah bertanya pada suaminya apakah mamanya masih marah atau mereka sudah berbaikan. Rendi juga tidak pernah bercerita. Demikian Melia menganggap bahwa hal terpenting adalah menjalani hidupnya tanpa mereka.

Beberapa kerabat Rendi memang pernah datang berkunjung. Mereka berbincang seolah tidak ada masalah apa-apa. Melia dan Ibu juga ikut berbincang meskipun sekadar basa basi.

Kemudian Melia hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki.

“Kita kasih nama siapa?” tanya Rendi.

“Bintang,” sahut Melia. “Bintang hidupku.”

“Bintang hidup kita,” kata Rendi menyambung.

“Tapi lucu kalau nanti diabsen guru,” ujar Melia. Lalu, dengan nada guru sedang memeriksa absensi, dia memanggil nama, “Bintang Hidup Kita!”

Mereka berdua tertawa.

Setelah mereka bermain lempar tangkap nama, terpilih Lintang Ndaru sebagai nama sang bayi.

“Lintang Ndaru adalah mitos yang dipercayai sebagai pertanda akan datangnya hari-hari baik—kebalikan dari lintang kemukus,” kata Rendi.

Hari-hari baik; betapa itu yang diharapkan Melia. Hari-hari baik untuk mengubur kenangan akan hari-hari buruk. Namun, apakah kepercayaan itu bisa mewujud nyata?

Tidak. Nama sekadar nama. Harapan hanya harapan. Takdir yang berlaku pada diri Melia, pada hidup Melia, seolah adalah takdir yang sama: takdir yang selalu buruk.

Usia Lintang belum genap setahun ketika polisi datang ke rumah. Mereka menjemput Melia dan Ibu ke rumah sakit. Perasaan Melia sudah tidak keruan. Polisi berkata tidak tahu pasti kondisi suaminya karena dia hanya menjalankan tugas menjemput keluarga korban.

“Kecelakaan,” kata polisi.

“Kecelakaan apa? Di mana?” tanya Melia.

“Saya belum mengetahui kejadiannya. Hanya diminta menjemput keluarga korban,” jawab polisi mengulang jawaban yang sama dengan sebelumnya.

Melia menangis sepanjang perjalanan. Ibu diam. Tangannya menggenggam tangan Melia. Namun, Melia tahu, Ibu pun mempunyai firasat yang sama. Pengelakan polisi menjawab apa yang sesungguhnya terjadi menjadi isyarat bahwa Rendi tidak baik-baik saja.

Di rumah sakit, polisi tidak mengajaknya menuju ke ruang gawat darurat, melainkan ke ruang jenazah. Rendi telah meninggal dunia.

Dunia Melia runtuh. Melia limbung. Lintang Ndaru dia dekap seakan berharap bahwa ini mimpi belaka. Bahwa pada akhirnya dia akan terbangun oleh tangisan anaknya yang lapar mencari susu.

Sampai Lintang Ndaru menangis, semua itu masih sama, masih nyata.

Mama Rendi menuding Ibu, menyumpah-serapah Ibu, bahkan hendak menerjang Ibu bila saja tidak dicegah petugas. Ibu bergeming. Melia menangis. Dia mendekap Lintang Ndaru sambil memeluk Ibu.

Lalu, sekonyong-konyong, Mama Rendi merebut Lintang Ndaru. Melia berusaha mempertahankan, tetapi Ibu mencengkeram lengan Melia. Mata Ibu menembus mata Melia.

Lintang Ndaru dibawa.

Jenazah Rendi dibawa dan tidak memperbolehkan Melia dan Ibu ke rumah mereka.

Mimpi masa depan Melia dicampakkan dan yang tersisa hanya pilu kehilangan.

Melia menangis dalam pelukan Ibu. Ibu mengelus-elus kepalanya. Tubuh Ibu bergetar. Melia tahu, Ibu pun marah, kesal, sedih. Ibu selalu bisa memendam perasaannya seperti gunung memendam magma yang menggelegak.

“Dia telah kehilangan satu, dan mendapat satu,” kata Ibu. “Dia impas.”

“Bagaimana dengan aku?”

“Ibu tahu rasanya kehilangan,” kata Ibu, “tetapi, apakah kita sungguh memiliki sesuatu?”

Melia tahu Ibu benar. Sepanjang hidupnya mereka tak pernah benar-benar memiliki apa pun. Sepanjang hidupnya semua hanya singgah untuk pergi.

Hanya saja, Melia butuh waktu untuk merajut luka dan berdamai dengan hidup.

 

Lihat selengkapnya