Iklan rumah Melia sudah terpampang, tetapi dia tidak bisa memperkirakan sebanyak apa jangkauannya. Dunia internet bekerja dengan algoritma, dan iklan itu mungkin hanya iklan yang tidak direkomendasikan ke banyak pengguna.
“Kita tunggu ikan memakan umpan,” kata Nana tadi sebelum kembali ke kantornya. “Semoga mendapat tangkapan besar.”
“Jangan besar-besar, Na, nanti nggak muat,” celetuk Melia.
Nana tertawa. “Muka mesum kau!”
Langit di luar mendung sejak tadi. Ketika Nana baru saja pergi, hujan turun. Dari dinding kaca depan, tampak orang-orang berlarian.
Sebuah mobil berhenti di depan salon. Seorang laki-laki turun dari bilik kemudi dengan payung terkembang. Memutari depan mobil, dia kemudian membuka pintu kiri. Seorang perempuan turun dengan bergayut di lengan laki-laki itu. Mereka menuju salon, dan Melia mengenali tamunya.
“Mama Yolan ...,” sambut Melia pada perempuan yang sekarang telah masuk dalam ruangan itu. Dia memeluk Mama Yolan dan mencium ke dua pipinya bergantian.
Mama Yolan dulu adalah pelanggan salon kecantikan Tante Septi. Melia ingat, dulu Mama Yolan tidak mau dilayani Melia ketika masih menjadi karyawan Tante Septi.
“Pokoknya harus kamu, Septi. Kalau kamu sibuk, ya, lain hari saja,” katanya.
“Mama,” Tante Septi membujuk dengan gaya kemayunya, “Septi juga tidak mau sembarangan ngasih orang untuk Mama. Percaya sama Septi. Kalau Melia ini tidak becus melayani Mama, Septi akan ganti wajah jadi zombi.”
Pada akhirnya Mama Yolan memang puas atas kerja Melia. Dia bahkan sering memuji Melia di depan Tante Septi setiap kali datang.
Sewaktu Melia menikah dan keluar dari salon Tante Septi, Mama Yolan kecewa. Kemudian, ketika Melia membuka salon sendiri di rumah selepas meninggalnya Rendi, Mama Yolan menjadi pelanggan pertamanya dan bahkan mempromosikan salon Melia pada teman-temannya. Tante Septi tidak bermasalah dengan kepindahan Mama Yolan ke salon Melia. Bahkan Tante Septi yang memberi tahu Mama Yolan waktu itu, dan dia juga mempromosikan salon Melia pada pelanggannya.
Kedekatan Melia dengan Mama Yolan terus berlanjut sampai sekarang.
Laki-laki yang mengiringi Mama Yolan menangkupkan payung dan mencantelkannya pada tempat gantungan.
“Kami lewat dan tiba-tiba pingin mampir,” kata Mama Yolan dengan senyum dikulum. Laki-laki yang barusan menggantung payung basah itu mendekati Mama, kembali berada di sampingnya.
“Ini Johan, suami Mama Yolan,” kata Mama Yolan. Melia menyalami laki-laki itu, menyebut namanya.
“Melia yang merawat kecantikanku, Sayang,” kata Mama Yolan pada Johan sembari membawa suaminya itu duduk di sofa lobi.
Melia memperkirakan usia Johan terpaut jauh dengan usia Mama Yolan. Laki-laki itu tidak terlalu tampan, tetapi wajahnya memang menyenangkan dipandang. Seolah di wajah itu bercokol lampu-lampu. Wajah yang akan membuat siapa saja betah menatap berlama-lama.
Johan tidak banyak bicara seolah dia memang diciptakan untuk menampung celoteh Mama Yolan yang terus merepet tanpa usai, menceritakan apa saja yang diketahuinya pada suaminya.
Setelah Mama Yolan tampak kehabisan kata-kata, Melia menanyai perempuan itu, “Apakah Mama mau masuk?”
“Tentu saja, Sayang. Apa Mama ke sini hanya untuk pamer suami baru?” sahut Mama sambil mengerling.
Melia tertawa.
Mama Yolan baru menikah tiga Minggu lalu dan ini kedatangannya yang pertama bersama suami barunya. Suami pertama Mama sudah meninggal setahun lalu. Tiga anak-anak Mama telah menikah dan tinggal di kota-kota yang berbeda. Melia tahu semua itu karena Mama Yolan senang bercerita tentang diri dan keluarganya.
Kata Mama, anak-anaknya telah sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan dia kesepian di rumah.
“Kalau tidak ada Johan,” kata Mama Yolan menyebut nama suaminya, “lama-lama aku membeku di rumah itu.”
“Melia tahu, Mama,” sahut Melia, sembari tersenyum.
“Nah, kau juga,” sahut Mama Yolan, seolah baru ingat bahwa Melia pula sendirian di rumahnya, “kau harus mencari suami lagi.”
“Doakan, Mama.”
“Ya, Mama akan berdoa untukmu.”
Melia mengucapkan terima kasih dan mencium pipi Mama Yolan sebelum memulai melakukan perawatan wajah perempuan itu.
Sering kali Melia merasa iri pada Mama Yolan, betapa kehidupannya berjalan sebagaimana dongeng kanak-kanak yang berakhir dengan klausa “hidup bahagia selama-lamanya”. Sementara pernikahan Melia seakan telah digariskan sebagai kesialan yang tak pernah selesai, karena dirinya mempunyai toh, tanda lahir, di pangkal pahanya.
Melia tidak ingin mempercayai kepercayaan kuno bahwa perempuan dengan tanda lahir di pangkal pahanya selalu akan ditinggal mati suaminya, tetapi dua kali pernikahan yang berakhir kematian suami-suaminya memaksa Melia percaya.
Sementara Melia mempersiapkan perkakas pekerjaannya, Mama masih berceloteh perihal suami barunya. Melia hanya sesekali menyahuti sebagai tanda dia menyimak.
“Mama nggak kuat jablay, Mel,” kata Mama Yolan, dengan genit memperagakan gestur kedinginan. “Kamu kuat jablay?”
Melia tertawa.
“Kau carilah suami yang seperti Johanku.”
Melia tertawa lagi. Dia memulai membersihkan muka Mama Yolan, dan perempuan itu sekarang tidak berbicara lagi.
Ketika perawatan Mama Yolan telah selesai, Melia mengantar pelanggannya itu keluar. Johan masih menunggu di lobi. Laki-laki itu tidak pergi ke mana pun, bahkan ke toilet, kata karyawan salon Melia. Bahkan minuman yang dihidangkan pun masih utuh. Johan hanya khusyuk dengan buku yang dibacanya.
“Kami dianggurin, Mama. Tak digoda sedikit pun!” celetuk karyawan salon Melia dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Mama Yolan tertawa.
“Nah, kalian cari suami itu seperti Johanku ini,” ujar Mama Yolan bangga.
“Seperti mencari jarum di tumpukan jerami, Mama ...,” sahut karyawan Melia.
“Kalau kalian punya magnet, itu gampang lah,” kata Mama Yolan. Semua tertawa, kecuali Johan yang mukanya tampak berpendar kemerahan.
“Kau adakah kawan buat Melia ini, Johanku?” tanya Mama Yolan pada suaminya.
“Kawan untuk apa, Yolan?” tanya balik Johan.