Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #6

Bab Enam

Api itu menjalar dari suatu tempat tak terlihat, dan sekonyong-konyong telah membesar dan mengelilingi Melia. Perempuan itu panik, tetapi dia tidak melihat celah untuk menyelamatkan diri. Sementara api menjalar semakin dekat. Melia berteriak. Dan, dia terbangun dari mimpi buruk itu.

Pukul dua kurang seperempat. Melia bangkit. Perempuan itu keluar kamar, mengambil minum di dapur, lalu masuk ke kamar mandi untuk kencing. Gemercik air kencingnya seperti gema di kesunyian.

Kembali ke kamarnya, Melia merebahkan tubuh, tetapi matanya sulit kembali pejam. Dia bangkit lagi, membuka gawai, membaca halaman demi halaman situs yang memuat artikel tentang iklannya, maupun perbincangan tentang dirinya dalam kolom komentar. Dia tersenyum geli pada komentar-komentar lucu dan jahil, dan kesal pada komentar-komentar jelek. Namun, di atas semua itu, Melia merasa menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Seolah menjadi balon boneka yang ditiup, Melia mengembang dan tubuhnya terasa ringan. Dia tidak pernah menjadi seseorang. Dia selalu menjadi hanya. Dia adalah bukan siapa-siapa, dan sekarang banyak orang yang membicarakannya!

Bagaimana rasanya menjadi selebritas? Lalu, adakah satu sisi untuk melihat ini sebagai sebuah kabar buruk?

Tidak; Melia tidak melihat ada sisi buruk dari ketenaran ini. Hanya karena ada orang-orang tolol yang menganggap iklan itu sebagai jual diri, hanya karena ada laki-laki mesum yang menilai perempuan dan—terlebih—janda senang digoda, tidak berarti bahwa menjadi viral karena iklan jual rumah yang bombastis itu buruk.

Tidak. Ini sesuatu yang baik. Mungkin pula sesuatu yang luar biasa.

Viral.

Popularitas.

Selebritas.

Melia tersenyum pada seraut wajah yang terpantul di cermin. Seorang perempuan tiga puluh tujuh tahun dengan dahi sempit, pelipis dan pipi lebar, dan dagu yang runcing dan panjang. Hai, siapakah kau di cermin? Seseorang; seseorang yang dulu selalu menjadi bukan siapa-siapa.

Melia menutup gawai dan meletakkannya di meja. Dia kembali tidur. Kali ini dia bermimpi menjadi ratu. Di sekitarnya banyak laki-laki yang memujanya dan melayaninya. Dan, Melia tertawa-tawa.

 

Pagi sekali Melia menelepon Nana mengajak bertemu. Mereka berjanji ketemu di kantin kantor Nana sebelum masuk kantor. Kantin ramai, tetapi justru mereka bisa leluasa berbincang tanpa takut ada yang ikut mendengarkan.

Nana tertawa ketika Melia menceritakan mimpi semalamnya.

“Bisa-bisanya begitu, ya?” katanya.

“Kamu tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bukan siapa-siapa yang harus selalu kalah,” kata Melia. “harus selalu salah, selalu tak berharga, hanya karena aku tidak punya ayah dalam dokumen resmi, hanya karena aku karyawan salon, hanya karena aku janda ....”

“Tidak punya ayah?” Nana mengulang kalimat Melia dalam nada tanya.

“Ya,” jawab Melia. “Aku pernah membenci status kelahiranku ini, tetapi sekarang aku tahu aku tidak akan bisa pergi dari kenyataan.”

“Wow. Tumben kau bijak bestari.”

Melia nyengir. Masa-masa sekolahnya dulu menjadi masa yang sulit. Meskipun kepada teman-temannya dia bisa berbohong bahwa ayahnya sudah meninggal dunia, selalu saja ada pertanyaan petugas administrasi akan isian kolom nama orang tua.

Pada akhirnya Melia pasrah bila dirundung teman-temannya. Itu semakin berat ketika pubertas. Melia minder dengan dirinya. Melia menarik diri dari pergaulan. Melia hanya berteman dengan Tante Septi di salon kecantikannya.

Memasuki SMA, Melia mengenal Rendi. Ketika Rendi menyatakan cinta, Melia tidak ingin menyimpan bom waktu dalam hubungan. Kepada Rendi, Melia menyatakan tentang kelahirannya, tentang ketiadaan nama ayahnya di akta kelahiran.

“Itu bukan masalah, Mel,” kata Rendi. “Itu bukan salahmu. Itu sesuatu yang tidak bisa kamu ubah.”

Itulah mengapa Melia mencintai Rendi lebih dari siapa pun. Itulah mengapa dia bisa berdamai dengan kelahirannya.

Orang tua Rendi pun awalnya tidak mempermasalahkan itu. Hanya ketika kedua ibu masing-masing bertemu, dan permusuhan masa lalu pada dua perempuan itu masih membara, perihal kelahiran Melia menjadi masalah yang dibesar-besarkan.

Sekarang, Melia sudah bisa berdamai dengan semua itu. Baginya tidak masalah tanpa nama ayah di catatan kelahiran.

Dari pengeras audio kantin mengalun lagu dangdut “Gadis atau Janda”. Melia nyengir ketika lagu itu mengalun.

“Semalam aku nungguin kamu nelpon,” kata Nana.

“Semalam, waktu pulang dari salon, bapak-bapak kompleks ngumpul di gardu satpam menungguku,” sahut Melia, “Aku telat pulang.”

“Apa hubungannya forum bapak-bapak sama kau telat pulang?”

“Mereka menahanku di gardu.”

“Ngapain?”

“Godain.”

Nana memandang Melia dengan pandangan takjub, kemudian dia tertawa terpingkal-pingkal.

“Apa lucu?” tanya Melia.

“Caramu ngomong itu lucu, Mel. Ummm ... Macam ABG puber yang bangga digodain cowok!” jawab Nana, masih tertawa.

“Memang aku lagi puber, kan?” Melia mencibir.

“Iya. Tapi kemarin kau tidak seperti ini, deh.” Nana meneguk habis minumannya.

“Semalam juga, aku ketakutan dan kesel banget, sih, sama bapak-bapak itu.”

“Terus?”

“Sekarang, sih, gak apa-apalah digodain.”

Nana menempelkan telapak tangannya ke dahi Melia. Melia menepis dan mendelik.

“Otakmu korslet, Mel,” ujar Nana.

“Semalam aku nelpon kamu begitu sampai rumah,” Melia tidak menggubris ledekan Nana. “Kamu sudah tidur.”

“Bang Alban yang ngangkat?”

“Iya.”

“Kalian ngobrol?”

Lihat selengkapnya