Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #7

Bab Tujuh

Membiarkan Melia menginap di rumahnya bukan pilihan terbaik bagi Nana, karena tanpa Melia ketahui, di rumah itu sedang ada masalah yang terbekap. Hanya karena Alban tidak di rumah dan hari sudah terlalu malam dan Melia sudah tampak kelelahan, Nana tidak tega membiarkan perempuan itu pulang.

Melia berbaring di samping Nana. Sementara Melia berkisah tentang telepon dan pesan-pesan yang diterimanya, pikiran Nana mengambang pada prahara rumah tangganya. Suara Melia yang riang bagaimana kicau burung hanya menjadi latar akan ingatan Nana pada kebekuan hubungannya dengan Alban.

Ada yang salah dalam hidupnya, dalam pernikahannya, tetapi Nana tidak tahu bagaimana membuat yang salah itu menjadi benar. Dia bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang salah dalam rumah tangganya ini.

Atau, barangkali dirinya kah yang menjadi masalah? Tidak; Nana merasa selama ini telah berlaku sebagaimana layaknya seorang istri. Dia melayani Alban, baik di rumah maupun di ranjang.

Mungkinkah Alban sudah bosan? Seperti kebosanan kanak-kanak pada permainan yang monoton? Nana tahu, rumah ini hanya tempat persinggahan saja bagi Alban. Sepanjang waktunya dia sibuk di luar. Namun, bukankah rumah ini juga hanya persinggahan bagi Nana? Pagi sampai malam dia juga berada di luar rumah. Dan, bukankah hampir semua pasangan yang berkarier tidak mempunyai banyak waktu kebersamaan? Apakah pasangan karier lain pula mengalami kebosanan semacam ini? Kebekuan semacam ini?

Atau, apakah seharusnya dia di rumah saja menunggui Alban pulang? Tidak. Kebersamaan tidak selalu berarti fisik.

Dalam ingatan Nana, dulu mereka sering berbagi pesan lewat telepon. Dulu mereka saling menyapa dan mengabarkan. Kemudian, mengapa sekarang mereka menjelma menjadi dua orang asing yang kebetulan bernaung di bawah atap yang sama?

Atau, karena selama hampir sepuluh tahun menikah mereka belum mempunyai anak? Jika itu penyebabnya, bukanlah itu bukan salahnya? Nana sudah pernah hamil dua kali dan selalu keguguran sebelum lahir.

Lalu, akan ke mana pernikahan mereka berujung?

Kepala Nana seperti ditekan. Ada sebuah kata yang melintas dan hendak dienyahkannya, tetapi kata itu justru bercokol. Itu kata yang didapatkannya dari pembacaan cerpen di koran tentang sepasang suami istri yang menjual rumah beserta kenangannya itu. Suami istri itu memutuskan bercerai setelah mereka tidak lagi bisa memahami satu sama lain.

Bercerai.

Nana tidak bisa membayangkan kesedihan seorang istri yang ditinggal mati suaminya seperti Melia, tetapi luka yang tertinggal tersebab perceraian hidup baginya terasa lebih menakutkan. Harga diri yang koyak, cinta yang tercabik, dan perasaan bersalah pada diri sendiri membuat perceraian hidup lebih tak tertanggungkan.

Apa yang terjadi pada pasangan suami istri itu adalah hal yang sama yang terjadi pada Nana dan Alban; komunikasi yang memburuk, perasaan-perasaan tidak dihargai, pikiran-pikiran tidak menentu. Mereka tidak bahagia, sementara mempertahankan ketidakbahagiaan hanya akan menjadi hidup yang melelahkan.

Nana tahu itu dan betapa mereka perlahan menjadi asing. Betapa cinta yang dulu menyala-nyala itu kini seperti asap diembus angin lalu.

Sejak sebelum menikah, mereka adalah sepasang kekasih yang sempurna; Nana yang suka berbicara apa saja dan Alban yang suka mendengarkan apa saja. Mereka menikah dan sampai beberapa tahun kemudian kondisinya masih sama: Alban jarang berbicara, Nana suka berbicara.

Belakangan ini Nana sudah jarang berbicara di depan Alban. Itu karena belakangan ini Alban tidak mendengarkan apa yang dia bicarakan. Alban seperti berada dalam alam lain. Dia sedang memikirkan sesuatu, tetapi selalu mengelak jika Nana bertanya apa yang dia pikirkan.

Cerpen itu, cerpen tentang sepasang suami istri yang memilih bercerai dan menjual rumah dua lantai milik mereka itu, membuat Nana merasa barangkali kehidupan rumah tangga dirinya juga harus berakhir demikian. Barangkali perceraian adalah satu-satunya jalan menyetel ulang hidup masing-masing. Itu bukan karena ada yang salah di antara mereka, melainkan karena mereka memang tidak lagi menjadi sepasang yang sempurna. Alban tak lagi suka mendengarkan, dan Nana yang tak lagi suka berbicara.

Bagaimana hubungan semacam ini akan bertahan? Nana memejamkan mata. Air mata bergulir tanpa dikehendakinya.

Melia yang sedang berkicau merandek melihat guliran air mata Nana.

“Na?” Melia menyentuh lengan Nana. Nana menoleh, dan dia menangis tiba-tiba.

“Ada apa?” tanya Melia.

“Kami sudah hampir usai, Mel,” kata Nana di sela tangis.

“Kalian bertengkar?”

Nana menggeleng.

“Lalu?”

“Kami tidak lagi saling bicara.”

“Bagaimana bisa, Na?”

“Bang Alban ....” Nana mengingat bagaimana perbincangan mereka membeku belakangan ini.

Percakapan akhir-akhir ini yang bisa diingat Nana adalah tentang Melia. Ya, Nana ingat betapa antusiasnya Alban setiap membicarakan perempuan janda itu!

“Kamu tahu ayahnya Melia, Na?”

“Tidak.”

“Cobalah tanyain.”

“Untuk apa?”

“Jangan-jangan dia tidak punya ayah.”

“Apa urusannya dengan itu?”

“Pingin tahu saja.”

Itu terjadi sebelum Melia bercerita tentang akta kelahirannya yang tidak mempunyai nama ayah. Bagaimana Alban bisa berpikir ke situ? Bagaimana Alban bisa menduga semacam itu? Mengapa pula dia mesti ingin tahu?

Nana tidak menanyakannya pada Melia. Bahkan ketika dia kemudian mengetahui jawabannya, dari cerita Melia tentang dirinya sendiri, Nana tetap tidak memberitahukannya pada Alban.

“Ibunya bernama Narsih, ya, Na? Alias Nancy?”

“Tanya saja sendiri.”

“Kamu yang sama-sama perempuan, lah. Aku tidak enak nanya macam itu.”

“Buat apa, sih?”

Lihat selengkapnya