Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #8

Bab Delapan

Sepulang dari rumah Nana, Melia langsung menyalakan gawainya. Dia menduga akan banyak pesan dan telepon lagi yang masuk seperti kemarin. Melia merasa lelah meladeni semua itu, tetapi perasaan senang dan mengembang karena mendapatkan perhatian membuat Melia seperti kecanduan media sosial.

Begitu dinyalakan, pesan-pesan masuk. Kebanyakan nomor tidak dikenal. Beberapa adalah nomor yang sudah tersimpan di gawainya. Ada juga pesan dari Alban.

Entah mengapa, sebelum pesan itu masuk, seolah telah ada firasat bahwa Alban akan menghubunginya. Dada Melia berdebar-debar, antara rasa tersanjung sekaligus ingin mengenyahkan.

Nanti aku telepon sekitar pukul 9.

Melia mengabaikan pesan lainnya dan dia berganti pakaian. Kemudian kembali keluar mengemudikan mobilnya ke salon.

Salon buka pukul sembilan, dan sekarang baru pukul setengah tujuh. Melia memarkir mobil. Dia membuka pintu lipat besi hanya satu lipatan saja. Lalu membuka pintu kaca dan menutupnya lagi. AC dia nyalakan, juga lampu.

Sambil setengah rebahan di sofa, Melia mengeluarkan gawainya. Dia kemudian tenggelam dalam dunia media sosial, sampai Indy datang.

Indy membuka penuh pintu lipat besi. Tanpa menoleh dan menyapa Meila, dia mulai melakukan rutinitas sebelum membalik papan gantung tulisan “tutup” dan “buka”. Menyapu, mengepel, mengelap perabot dan memeriksa peralatan. Pukul sembilan kurang seperempat pekerjaannya selesai dan dia membalik papan “tutup-buka”.

Dua gadis karyawan salon datang tidak lama kemudian. Mereka semua duduk di sofa. Indy mengajak ngobrol dua gadis itu dan dia sengaja mengeraskan suaranya sambil melirik Melia. Melia yang merasa terganggu pindah ke ruang dalam.

Pukul sembilan kurang lima menit, Alban menelepon. Melia seperti tercerabut dari gempita selebritas. Dengan laki-laki itu, Melia mendadak canggung dan gugup.

“Ya, Bang?” sambut Melia setelah memencet tombol terima.

“Kamu nginep di rumah semalam, Mel?” tanya Alban.

“Iya. Kenapa?”

“Ada masalah apa?” Alban malah balik bertanya.

“Tidak ada apa-apa.”

“Jika tidak ada masalah, kamu tidak nginap.”

Melia merasa udara sekitarnya tak lagi mengandung oksigen karena dadanya mendadak sesak. Perhatian-perhatian Alban tidak diinginkannya, tetapi juga tidak bisa dia tolak.

“Soal media sosial,” ujar Melia. Lalu dia ceritakan bagaimana kerepotannya menghadapi pesan-pesan dan telepon-telepon itu.

Ada tawa lirih Alban terdengar, dan tampak nada lega ketika dia berkata, “Aku pikir ada yang gawat.”

 “Tidak, Bang. Hanya soal itu.”

“Kamu yang mengendalikan media sosial, Mel,” ujar Alban, “kamu tidak harus membalas dan menjawab semua pertanyaan.”

“Tapi nanti mereka menganggapku sombong, kan, Bang?” kilah Melia.

“Lho, memangnya ada orang yang tidak punya kesibukan? Yang nulis pesan itu pula belum tentu selalu online, Mel. Ada pula yang macam aku; aku jarang buka aplikasi macam itu.”

“Sekarang aku selalu terhubung ....”

“Itulah; kamu macam anak ingusan yang baru main media sosial.”

Alban memang benar, Melia harus mengakui itu. Banyak dari obrolan-obrolan itu hanya basa-basi. Orang-orang yang serius hendak membeli rumahnya—dan serius untuk menikahinya—pasti akan menelepon atau bahkan datang menemuinya. Orang-orang yang sekadar ingin tahu tidak akan melanjutkan obrolan setelah Melia menjawab keingintahuannya. Dengan semacam itu, untuk apa terburu-buru?

“Kalau saatnya tiba, pasti akan tiba. Jadi, kamu boleh bermedia sosial, tetapi kamu juga harus berpikir dewasa.”

Melia merasa malu. Dia mengiyakan dengan gugup.

Seusai telepon itu, Melia mencenung. Mengapa Alban memperhatikannya, Melia merasa, itu bukan sekadar perhatian seorang suami temannya. Itu adalah perhatian seorang laki-laki yang jatuh hati padanya.

Jatuh hati!

Melia mematikan daya gawainya, dan menuju ruang depan. Dia karyawannya sedang melayani pelanggan. Indy sedang duduk membaca majalah.

Pada tengah hari, Nana datang. Melia sedang ada tamu saat itu. Melia mendongak dan menyapa. Dia lalu kembali berbincang dengan tamunya, sementara Nana duduk di kursi barber yang kosong, memandangi cermin. Melia merasa ada yang berbeda dengan Nana kali ini. Atau, karena rasa bersalahnya pada Nana sehingga Melia merasa demikian?

Selesai melayani tamunya, Melia mendekati Nana.

“Kamu nggak kerja?” tanya Melia.

“Tadi pagi tidak enak badan,” sahut Nana sembari menarik tubuhnya dari sandaran.

“Sakit apa?”

“Hanya mendadak pusing tadi selepas kau pergi.”

“Aku berpapasan sama Bang Alban.”

“Ya, dia juga mengenali mobilmu.”

“Dia tanya-tanya kenapa aku menginap?”

“Tidak. Alban buru-buru ke kantor.”

“Dia nggak tahu kamu sakit?”

“Tidak.”

Melia berbicara dengan Indy, memberitahunya bahwa dia akan keluar. “Jika ada yang mencari, tidak perlu disuruh menunggu,” katanya.

Kemudian Melia mengamit lengan Nana, membawanya ke mobilnya. Dia mendudukkan Nana di samping kursi kemudi. Setelah itu Melia memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi. Tanpa berbicara dia menjalankan mobilnya.

Keheningan mengambang. Melia tahu, keheningan dan Nana adalah dua sisi yang bertolak belakang. Itu menegaskan bahwa perempuan itu memang sedang ada masalah.

Melia ingat, dulu ketika dia sedang terpuruk Nana mengajaknya ke taman. Ke sana pula kini Melia mengarahkan mobilnya.

Setelah memarkir mobil, Melia mengamit Nana dan mendudukkannya di bangku taman. Taman ini telah berubah, tetapi kenangan selalu membeku. Melia membeli es Oyen. Dia menyodorkan satu gelas pada Nana.

Lihat selengkapnya