Apa yang terjadi di antara dirinya, Alban, dan Nana membuat Melia merasa nelangsa. Baginya, kehilangan perhatian Alban bukan masalah besar, tetapi kehilangan persahabatan adalah masalah yang tak terperikan. Ini karena dalam lingkaran hidup Melia sungguh tidak ada orang dekat lain selain Nana.
Barangkali ini memang karakternya, Melia tidak pernah mempunyai banyak teman dekat dalam hidupnya. Selalu hanya satu dan setiap kali ada yang lain, yang satu pergi. Seperti kata Ibu, hilang satu dapat satu.
Sekarang, Nana mungkin akan hilang dari hidupnya, dan Melia akan menunggu siapa yang dia dapat untuk mengganti persahabatan itu.
Mungkin karena perkataan Alban, atau karena masalah yang terjadi itu, Melia tidak lagi antusias dengan popularitas dirinya di media sosial. Dia hanya ala kadarnya membalas. Banyak pula yang diabaikan. Bahkan panggilan telepon pun tidak akan dilanjutkan obrolan jika dari awal perbincangan sang penelepon tidak menunjukkan keseriusan ingin membeli rumah itu.
Apalagi jika sejak awal sang calon pembeli menyatakan akan menjadikannya istri ke dua. Tidak; Melia tidak ingin merusak rumah tangga orang. Dia tahu posisinya sebagai janda selalu menjadi muara kesalahan. Selalu dianggap penggoda suami orang. Sampai sekarang pun, Melia merasa ibu-ibu kompleks perumahan sering bergunjing tentangnya. Mereka selalu sinis padanya.
Pagi ini Melia baru selesai merawat wajah seorang pelanggan ketika dia melihat dari dinding kaca tampak orang-orang bergegas ke barat. Di ruang barber, Indy sedang memotong rambut seorang perempuan paruh baya. Mereka juga tampak sedang melihat ke luar dengan heran.
“Ada apa?” tanya Melia, pada siapa saja di sana.
“Nggak tahu, Mbak.” seorang karyawan yang menjawab. Dia sedang bebas kerjaan dan berjalan keluar.
Terdengar sirene polisi. Melia menuju pintu kaca dan keluar, berdiri di samping karyawannya yang keluar lebih dulu.
“Ada apa, Dik?” tanya Melia pada sepasang remaja yang melintas dari barat.
“Ada rame-rame,” kata si cowok.
“Rame-rame apa?”
“Bagi-bagi duit!” Remaja itu tertawa ngakak setelah menyahut. Sang cewek menepuk punggung cowok. Mereka tampak berdebat sambil terus berjalan.
Melia kembali masuk, diikuti karyawannya.
“Ada apa?” tanya pelanggan yang sekarang sedang dikeramas.
“Bocah gila bilang ada bagi-bagi duit,” sahut Melia sambil bersungut-sungut.
“Bocah gila bagi-bagi duit?” Perempuan paruh baya itu mengulangi dengan keheranan.
“Bukan,” kata Melia, “Tadi aku tanya sama bocah gila itu ....”
“Bocah gila, kok, ditanya ....”
Indy tidak bisa menahan tawa. Dia tertawa ngakak sembari menyerahkan handuk pada Melia untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Gemoy, ih ... Yey keramasin ini pere, Mel. Cacamarica beri-beri eike ajijah,” kata Indy, sembari melenggang keluar. Pelanggan itu ngedumel tidak jelas. Melia menahan tawa.
Melia melanjutkan pekerjaan Indy dengan mendengarkan petuah dari pelanggannya untuk tidak lagi bertanya pada orang gila.
“Kalau ngamuk, nggak terima ditanya-tanya, bahaya itu. Bisa masuk ke salon. Merusak barang-barang di sini. Bisa apa? Mau nuntut ganti rugi sama siapa? Dia kalau punya duit juga gak seberapa. Dikasih orang. Itu juga tadi dibagi-bagi, kan?”
Melia mengangguk takzim. “Iya, Bu....”
Kurang lebih lima menit kemudian Indy sudah kembali. Melia sudah selesai mengeringkan rambut pelanggan itu yang sekarang hendak keluar.
“Eh, Pere, Titi DJ, ye, ada organ gilingan?” celetuk Indy.
“Ngomong apa?” Pelanggan itu bertanya pada Melia.
“Hati-hati ada orang gila, Bu,” kata Melia, menerjemahkan.
“Maaf, ya, aku nggak mau minta duit sama orang gila, kok,” sahut sang pelanggan. Dia keluar, memanggil becak.
Indy tertawa keras sambil rebahan di kursi keramas. Setelah tawa Indy reda, Melia bertanya pada transpuan itu.
“Ada apa?”
“Ih, Chyn .,., negeri, deh.”
“Ngeri apanya?”
“Ada pere bekel diperkakas pecongnya dinda digorong-gorong sampai metong, Chyn ....” Ada janda diperkosa pacarnya dan digorok sampai mati.
“Di mana?”
“Promina balakumbang, Chyn ....” Perkampungan belakang.