Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #10

Bab Sepuluh

Hari Minggu pagi ketika Melia hendak ke salon, dia bertemu Pak RT di jalan. Melia menepikan mobilnya dan memanggil Pak RT. Pak RT menghampiri mobil.

“Ada apa, Mbak Melia?” tanya Pak RT dengan wajah berbinar-binar.

“Nanti akan ada orang yang mau nengok rumah saya, Pak RT,” kata Melia, dia mengambil kunci dari tas dan mengulurkan, “ini saya titipkan ke Pak RT sekalian. Nanti kalau sudah selesai, tolong diantarkan ke salon, ya.”

Pak RT menerima kunci itu.

“Ini sekadar untuk beli rokok,” kata Melia lagi sembari mengulurkan amplop.

“Tidak usah, Mbak Melia, tidak usah,” ujar Pak RT, “Bapak senang bisa membantu.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya terima kasih sudah dibantu.”

Pak RT mengangguk-angguk.

“Iya, Mbak. Semoga lekas ada yang cocok,” sahut Pak RT.

Sore harinya Pak Hansip ke salon menyerahkan kembali kunci rumah. Melia menerimanya dan bertanya apakah ada calon pembeli bernama Syamsul.

“Yang dahinya lebar itu, Mbak?” tanya Pak Hansip.

“Iya,” sahut Melia.

“Ada; tadi bawa anak-anaknya juga. Tapi anaknya tidak mau masuk, nunggu diluar saja makan es krim.”

“Dia gimana, Pak?”

“Sudah tua, sih, Mbak. Tapi kalau Mbak Melia suka yang tua-tua, ya, tidak masalah.”

Indy terkikik-kikik di belakang Melia.

“Maksud saya,” Melia berdehem karena tenggorokannya terasa ada ganjalan, “Maksud saya, apa Pak Syamsul itu tampak berminat tidak sama rumahnya.”

“Oh, ya, katanya, sih, kurang besar. Tapi katanya nanti bisalah ditingkat rumahnya.”

“Soal harga gimana, Pak?”

“Wah, kalau soal nego harga, itu sama Pak RT ngomongnya. Saya tadi sibuk ngawasi saja. Soalnya ada tiga orang tadi hampir bersamaan. Yang dua itu saya awasi, soalnya siapa tahu pura-pura lihat rumah tapi tangannya nyolong.”

Melia mengangguk dan berterima kasih.

Selepas Magrib, Syamsul datang ke salon. Dengan kemeja dimasukkan celana denim dan rambut klimis tersisir rapi, Syamsul memang tampak konservatif. Melia memang lebih menyukai laki-laki yang modis kekinian, tetapi dia tahu gaya yang pas buat Syamsul memang semacam itu.

Pada tamunya itu Melia bertanya tentang anak-anak, sebagai basa-basi. Syamsul menanggapi serius. Dia berkata bahwa dirinya senang Melia antusias mengenal anak-anaknya.

“Mereka nanti akan jadi anak-anak Melia juga, kan?” katanya.

Melia merasa tidak enak karena laki-laki itu mengira dia sangat berharap.

“Maksud saya, Pak Syamsul, kan, tadi bareng anak-anak melihat rumah ....”

“Iya ..., anak-anak senang dan tidak sabar ingin pindah ke sana,” kata Syamsul. “Tapi sekarang mereka ngaji dan harus belajar.”

Melia menahan diri untuk tidak berkata-kata lagi.

“Nanti kita cari oleh-oleh saja untuk mereka,” kata Syamsul.

“Kita?”

“Kalau menurut Melia, beliin apa?”

Melia mengernyit. Dia tidak tahu sebesar apa anak-anak Syamsul, juga tidak tahu apa kesukaannya, tetapi Melia merasa, ini pancingan untuk melihat apakah dia punya sifat keibuan atau tidak.

“Pizza?” ujar Melia setelah berpikir dan tidak menemukan apa selain itu.

“Itu bagus, juga. Anak-anak sudah lama tidak makan pizza.”

“Nanti Pak Syamsul bisa beli di ....”

“Anu ...,” Syamsul memotong, “Saya mau mengajak Melia jalan-jalan nanti sekalian beli oleh-oleh pizza.”

Jelas sudah; laki-laki ini mengajaknya berkencan. Jelas sudah bahwa di antara sekian calon pembeli, baru satu ini yang tampaknya bersungguh-sungguh bukan hanya untuk rumahnya, melainkan pula untuk dirinya.

Masalahnya, bagaimana dengan perasaannya? Cinta? Apakah cinta? Apakah pernikahan? Apakah cinta dan pernikahan harus menjadi satu tarikan napas dalam hidup?

Melia mencintai suami-suaminya, dulu, dan mereka pula mencintai Melia, tetapi maut tidak mencintai pernikahan mereka. Maut menentukan jalan yang berbeda dengan harapan dan doa-doa pernikahan itu.

Sekarang, apakah dibutuhkan cinta untuk pernikahannya lagi? Tidak; Melia tahu itu hanya akan membuat hatinya semakin menyerpih ketika kutuk tanda lahir di pangkal pahanya kembali merenggut suaminya. Melia bisa menikah tanpa perlu peduli pada cinta.

Lihat selengkapnya