Tragedi Syamsul membuat Melia berpikir untuk membatalkan iklan jual rumah itu. Setidaknya, mengganti iklan menjual rumah itu dengan menghapus bagian bombastis yang menyebabkan viral dan salah paham.
Namun, bagaimana melakukan itu? Melia tidak tahu. Nana yang memasang iklan itu, dan dia pula yang bisa menghapusnya. Atau, Alban; laki-laki itu mungkin bisa melakukannya. Sayangnya, bagaimana mungkin Melia meminta bantuan Nana atau Alban setelah hubungan mereka renggang karena perhatian Alban pada Melia?
Kalau saja bisa memutar waktu, akan lebih baik bila iklan itu tidak perlu bombastis. Biar saja hanya orang yang sungguh mencari iklan penjualan rumah yang menemukannya, tanpa melibatkan orang-orang yang sekadar iseng dan penasaran gara-gara viral.
Meskipun awalnya Melia menaruh harapan besar bisa mendapatkan banyak pilihan pendamping hidup bersebab viral itu, sekarang dia tahu bahwa itu tidak semudah dalam impian.
Sekarang, apa sesal kemudian ada guna? Tidak; Melia harus menghadapi apa yang telah dimulai, apa yang telah terjadi, bahkan apa yang akan terjadi. Dia telah melalui banyak tragedi, banyak peristiwa buruk, banyak luka dan duka, dan, di atas semua itu, dia merasa bahwa hidupnya hanya memperpanjang nestapa.
Nestapa yang tidak boleh dia akhiri sebelum hidup itu mengakhirinya. Melia ingat Nana.
“Kita hidup di rimba, Mel; mau tidak mau, suka tidak suka. Tapi makna keberadaan kita bukan untuk menyerah. Makna keberadaan kita menjalani hidup,” kata Nana di waktu Melia berpikir untuk menyerah pada takdir yang selalu menempatkannya dalam salah; dalam kalah.
And when you're high, you never, never wanna come down ....
Melia menutup iklan penjualan rumah di gawainya, dan menggelengkan kepala seolah meneguhkan dirinya sendiri bahwa pertunjukkan harus terus berjalan, apa pun yang terjadi. Perempuan itu melepas pakaiannya dan menggantinya dengan jubah mandi. Di kamar mandi, lewat pantulan kaca Melia melihat dirinya.
Wajahnya masih cantik. Kecantikan yang berbeda dengan Ibu. Barangkali bentuk wajahnya mewarisi Ayah. Melia sudah lupa semacam apa bentuk wajah Ayah.
Melepas jubah mandinya, Melihat tubuhnya. Tubuhnya masih seksi. Melia tidak berdiet, tetapi tubuhnya seolah memang tidak bisa melar. Dan, meskipun tidak rutin, Melia masih menyempatkan diri ke gym.
Semakin ke bawah, Melia tahu, tanda lahir itu masih ada di pangkal pahanya. Tanda lahir yang akan merenggut hidup suami-suaminya. Sampai kapan kutuk itu berlaku? Melia tidak tahu. Apakah itu mitos atau fakta, apa bedanya? Kematian tetaplah kematian, kehilangan tetaplah kehilangan
Usai sarapan roti dan segelas susu, pagi ini Melia ke salon lebih awal. Indy, tangan kanan Melia yang mempunyai kunci cadangan, ada pekerjaan mengisi acara di resepsi dan izin berangkat lepas siang.
Kompleks pertokoan itu masih sepi. Toko-toko mulai menggeliat selepas jam delapan. Beberapa toko memang ada yang buka lebih pagi, tetapi rata-rata toko mulai bukan di jam delapan sampai jam sembilan.
Sekarang masih terlalu pagi, dan Melia pun biasanya belum mulai membuka salon. Jalanan telah ramai. Anak-anak berseragam sekolah, orang-orang berseragam kantor, pedagang-pedagang yang berkeliling. Semua sedang mulai berjuang untuk hidupnya masing-masing; untuk masalahnya masing-masing.
Melia menyapu lantai. Lalu membersihkan debu-debu pada permukaan perabot dan perlengkapan salon. Dia sedang hendak membersihkan dinding kaca ketika seseorang berdiri di luar pintu kaca. Seorang laki-laki.
Perempuan itu mendekati pintu dan membukanya.
“Apakah ini salon milik Ibu Melia Anggraini?” Laki-laki itu bertanya.
Melia mengiyakan sembari menguak pintu lebih lebar dan mempersilahkan tamu itu masuk.
Tamu itu memperkenalkan diri dan mengatakan dirinya dari manajemen acara talkshow “Dari Hati ke TV”. Dia mengatakan bagaimana bisa kemari—karena lebih mudah menemukan salon ini dari pada menemukan rumah Melia.
Melia tahu sejak iklan rumahnya viral, salon ini kena imbas kepopuleran.
Sementara tamu dari TV itu berkata-kata, dada Melia berdebar-debar kencang.
“Jadi,” demikian tamu itu mengakhiri, “kami bermaksud mengundang Ibu Melia sebagai tamu dalam acara kami.”
Melia tertegun. Popularitas itu seolah memang menguntitnya meskipun baru saja dia menyesali iklannya yang viral. Iklan yang viral itu telah membawa konsekuensi, dan sekarang ada yang menunggu lagi untuk membuat Melia semakin mengorbit.
Masuk TV!
Bayangan masa kecil memenuhi kepala. Bagaimana dulu Melia suka membayangkan diri menjadi penyanyi cilik yang tampil di televisi. Bagaimana dulu Tante Septi mendandaninya, lalu Melia kecil berlagak sedang main drama, dan Tante Septi berlagak sedang melakukan syuting dengan bantal guling kecil dipanggulnya seolah kamera. Bagaimana di masa puber Melia selalu membayangkan diri di layar kaca ketika berkaraoke.
Masuk TV!
Melia gemetar oleh beragam emosi yang bercampur aduk di dadanya.
Kru TV itu menanyakan kesediaan Melia, dan, tanpa berpikir panjang perempuan itu mengangguk.
“Saya akan datang,” katanya.
Sang tamu memberikan beberapa informasi dan kartu namanya. Tamu berkata nanti siang akan ke sini lagi dengan membawa perlengkapan perekaman untuk opening acara.
“Nanti kita juga akan ambil rekaman di rumah juga,” kata laki-laki itu.